jurnalbogor.com – Kurang lebih 8 tahun yang lalu telah menjadikan sejarah penting bagi gerakan lingkungan hidup di Jawa Barat terutama gerakan masyarakat dalam melawan pencemaran sungai oleh limbah pabrik. Kemenangan gugatan Koalisi Melawan Limbah di PTUN Bandung ini merepresentasikan masyarakat banyak dan telah menjadi momentum tegaknya hukum lingkungan hidup di Tatar Parahiangan.
Kemudian, pada Oktober 2021, sekelompok aktivis lingkungan mendesak bupati Kabupaten Bandung agar segera menetapkan tanggal 24 Mei sebagai Peringatan Hari Citarum. Semangat penetapan Hari Citarum ini dimaksudkan untuk mengembalikan Citarum sebagai pusat peradaban rakyat Parahiangan, memasuki momentum bulan mei ini kami mendesak secara keras agar pemerintah Provinsi Jawa Barat dapat menetapkan juga tanggal 24 Mei sebagai Hari Citarum.
“Sikap ini menjadi penting dapat diambil oleh Gubernur Jawa Barat sebagai wujud penghormatan bahwa sungai merupakan aspek penting dalam berkehidupan,” kata Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat Wahyudin dalam keterangan tertulisnya, Rabu (22/5/2024).
Sebagai sungai terpanjang di Jawa Barat, sungai Citarum menjadi sumber penghidupan, lebih jauhnya memiliki fungsi utama bagi rakyat Jakarta. Secara administrasi, Kab. Bandung, Kota Bandung, Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat sebagai wilayah hulu yang memiliki peran vital dalam proses perbaikan sungai Citarum.
Empat wilayah tersebut selama ini hanya dapat memunculkan dampak, mulai dari masalah pencemaran, sampah, kerusakan lahan kirtis di hulu dan di sepadan sungai, serta berbagai bencana baik pada saat kemarau maupun pada saat musim hujan.
“Selain bencana ekologis, kondisi tersebut diperburuk dengan kurangnya sosialisasi serta sikap tegas dari aparat penegak hukum untuk menertibkan para pelaku pencemar dan pelaku perusak Citarum, lemahnya upaya edukasi kepada masyarakat dan industri dalam mengelola limbah (B3, Limbah Peternakan dan Limbah Sampah Domestik),” jelas Wahyudin.
Menurutnya, gagasan pemerintah untuk mengatasi kerusakan Citarum di Jawa Barat, salah satunya dengan keluarnya Peraturan Presiden Nomor 15 tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Kerusakan Daerah Aliran Sungai CItarum sebagai langkah awal dalam strategi revitalisasi sungai Citarum.
Kebijakan tersebut disambut oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan langsung membentuk dan menetapkan Kelompok Kerja Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan DAS Citarum dengan cara mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 37 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Pengendalian Pencemaran dan Kerusahakan Daerah Aliran Sungai (PPK DAS) Citarum 2019-2025.
Adapun tiga misi utama rencana aksi tersebut, meliputi:
1. Mengembalikan kondisi DAS Citarum yang bersih dan bermanfaat;
2. Mempertahankan fungsi DAS Citarum sebagai daerah konservasi sekaligus sumber penghidupan masyarakat;
3. Meningkatan daya dukung dan daya tampung lingkungan di kawasan DAS.
PPK DAS Citarum ini menuangkan rencana aksinya menjadi 12 Program prioritas diantaranya penanganan lahan kritis, penanganan air limbah domestik, penanganan limbah industri, penanganan limbah peternakan, penanganan keramba jaring apung, pengelolaan sumber daya air, pengendalian pemanfaatan ruang, penegakan hukum, edukasi dan pemberdayaan masyarakat, riset dan pengembangan dan pengelolaan data informasi serta hubungan masyarakat kemudian capaian utama dari pelaksanaan program tersebut adalah tercapainya baku mutu kualitas air kelas II, atau setara dengan nilai Indeks Kualitas Air (IKA) sebesar 60% pada tahun 2025.
Saat ini, klaim IKA Sungai Citarum dalam kategori tercemar ringan serta berbagai kegiatan telah tercapai berhasil. Patut dipertanggungjawabkan kepada publik klaim tersebut, kami sebagai warga yang berada dekat dengan sungai Citarum memiliki hak untuk meminta pertanggung jawaban mereka secara akuntabel dan transparan.
Bagi kami, implementasi program Citarum Harum belum tercapai atau dengan istilah lain kami menyebut: PROGRAM CITARUM HARUM GAGAL. Pelabelan kami tentang gagalnya Citarum Harum bukan tanpa dasar.
Sederet fakta yang ditemukan di lapangan, diantaranya:
1. Klaim bahwa Indeks Kualitas Air (IKA) Sungai Citarum dalam katagori tercemar ringan. Kami menyatakan tidak setuju dengan alasan: Apakah klaim dapat dibuktikan secara transparan kepada publik, dimana saja titik lokasi dengan tercemar ringan? Apakah klaim menggambarkan sejauh bentangan sungai dengan luas 297 km atau hanya di beberapa titik lokasi saja? Apakah pengambilan uji lab air dilakukan secara transparan dengan melibatkan komunitas lingkungan, dsb, atau tidak? Apakah kegiatan pengambilan uji lab tersebut dilakukan juga pada saat musim hujan dan musim kemarau atau tidak?
Kami mengetahui bahwa PPK DAS telah melaporkan hal ini pada halaman websitenya kami meragukan kelayakan uji klaim tersebut dengan dasar ketidakdetailan rincian kegiatan dan tidak transparannya proses pada saat pengambilan uji lab yang dilakukan KLHK.
Faktanya saat ini, para pelaku yang melakukan pencemaran limbah B3 dari industry masih kerap terjadi, mulai dari hulu, tengah hingga hilir. Upaya sporadis yang dilakukan oleh TNI dengan cara melakukan pengecoran lubang pembuangan limbah industri secara langsung tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku pencemar.
Upaya tidak efektif dan lemahnya penegakan hukum bagi pelaku pembuangan limbah semakin memperburuk situasi. Lebih jauh dari itu, pencemaran air sungai Citarum tidak hanya dari limbah industri semata. Konsep pembangunan pemukiman yang letaknya menbelakangi sungai tidak lepas salah satu bagian yang menyumbang pencemaran limbah rumah tangga, dimana lubang peralon yang menonjol langsung ke sungai masih banyak kita temukan.
2. Kerusakan kawasan hulu sebagai Nol Kilo Meter Citarum masih kritis. Angka lahan kritis di zona hulu bukan menyusut malah cenderung meningkat. Perlu diingat bahwa hulu sungai Citarum ini terletak di situ Cisanti. Sebelum Citarum Harum, setidaknya sudah terdapat tiga program yang sudah bergulir dengan biaya yang fantastis (Citarum Bergetar, ICWRMIP, KOMPEPAR dan Citarum Bestari) di lokasi petak 73 sebagai hulu dari sungai Citarum dari program tersebut telah memulihkan kawasan yang dianggap kritis. Klaim reforestasi lahan kritis di hulu, kami mempertanyakan kawasan mana yang telah berhasil di reforestasi, lantaran banjir bandang dan banjir lumpur masih kerap terjadi, terakhir banjir di hulu telah menelan satu korban meninggal dunia.
Menurut catatan WALHI, fakta lahan kritis yang tidak dapat tersentuh oleh program Citarum Harum ini adalah lahan yang di bawah pengelolaan perhutani yaitu kawasan puncak sulibra (Artapela) yang masuk pada bentang kawasan gambung sidanengsih serta masuk pada Sub DAS Cihejo yang bermuara ke DAS Citarum.
Laporan PKK DAS yang di tayangkan di website perlu juga dibuktikan dan pertanggungjawabkan, masalahnya mereka mengklaim bahwa telah berhasil dengan cara telah melakukan penanaman pohon dengan jumlah jutaan. Dimana lokasi penanam pohon tersebut? Apakah ada metode pengawasan berapa pohon yang hidup dan pohon yang mati serta apakah menjawab terhadap pemulihan kawasan yang kritis atau tidak?
Belum lagi lahan kritis yang berada di bawah pengelolaan HGU PTPN dan tanah milik masyarakat. Setidaknya terdapat tiga titik lokasi yang kritis; tidak dapat terurai oleh program Citarum harum ini di kawasan hulu. Salah satu lokasinya berada tepat di pasir anjing, kampung Cirawa dan sebagian besar terlekat di desa Cihawuk. Pola tanam yang tidak dengan skema terasering serta tidak disertainya dengan pohon tegakan sering kali memperburuk jumlah run off yang masuk ke anak sungai yang bermuara ke DAS Citarum.
Serupa dengan terampasnya hak sempadan sungai, perampasan ruang sempadan sungai lebih banyak di intervensi salah satunya oleh buruknya implementasi tata ruang. Setidaknya terdapat banyak banguan industri dan bangunan liar yang merampas hak sempadan sungai, maka tidak heran jika banjir bandang banyak menggerus bangunan yang berada tepat di sempadan sungai.
3. Masalah sampah, sedikit kami setujui bahwa masalah sampah yang masuk ke sungai baik anak sungai telah mengalami penurunan, karena ada upaya bersih-bersih sampah yang ada di anak sungai, sempadan sungai dan di badan sungai itu sendiri, gunungan sampah tidak lagi menjadi momok yang suram karena dapat dibersihkan oleh TNI.
Akan tetapi, hal tersebut keliru jika klaimnya telah dapat mengatasi masalah sampah, fakta yang terjadi bahwa anak sungai dan sungai Citarum masih dijadikan media untuk membuang sampah domestik, terutama hal tersebut dapat dilihat pada saat musim hujan. Jauh lebih dari itu, anggaran untuk membuat TPST 3R dengan jumlah anggaran yang besar kondisinya tidak sedikit mengalami gagal dibeberapa tempat akhirnya hanya menjadi museum semata. Ini menggambarkan ketidakefektifan dan penghamburan biaya yang tidak mengurai masalah.
4. Tidak adanya akuntablitas dan trasparansi anggaran program Citarum Harum. Kita ketahui bersama bahwa program Citarum Harum ini memilik dukungan biaya yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN). Pada laman website PPK DAS tidak di tuangkan secara akuntable dan transparan, detail penggunaan anggaran untuk setiap implementasi rencana aksi yang sudah di rencanakan patut di pertanggung jawabkan.
Selain itu, program Citarum Harum ini juga mendapat dukungan anggaran yang bersifat hutang. Tahun lalu, pemerintah telah membuat kontrak melalui program ISWMIP yang bersumber dari Word Bank dengan jumlah yang luar biasa; dimana rencana biaya tersebut akan di alokasikan kepada kegiatan lahan kritis, penanganan sampah serta penanganan keramba jaring apung.
5. Partisipasi Publik. Bentuk keberhasilan yang sangat sulit untuk mengetahui sebesar apa upaya partisipasi publik dapat di terapkan pada program Citarum Harum ini, nyatanya pada ruang-ruang perencanaan, pelaksanaan serta monitoring dan evaluasi tidak dapat terwujud dengan komprehensif dilakukan oleh PPK DAS.
Adapun pertemuan besar dapat dilaksanakan terkesan hanya menjadi kegiatan agar ISWMIP dapat berjalan. Ruang-ruang saran, masukan, serta kritik tidak dapat pernah di pastikan terwujud nyata.
Tak jauh dalam hal ini kami pun ingin meminta penjelasan yang dapat di pertanggung jawabkan. Program Citarum harum hari ini dilihat dari kacamata aktivis lingkungan dan beberapa jaringan yang menyoroti program ini belum bisa dikatakan sebagai program yang berhasil dan membawa harum nama baik Jawa Barat dikancah Nasional bahkan di level Internasional.
Citarum masih dapat dikategorikan sebagai sungai yang tercemar berat. Pemerintah Pusat dengan bangga menjadikan sungi Citarum sebagai showcase di World Water Forum (WWF) sangatlah keliru. Fakta di lapangan Citarum belum banyak yang berubah, sederhananya program Citarum Harum bisa dikatakan belum mampu merubah Citarum menjadi sungai yang bersih.
Fakta lain, bahwa indikator tercemar ringan itu berdasarkan data pada tahun 2019-2023, dimana pada saat itu kita tahu bahwa Negara kita sedang mengalami masa Covid-19 yang artinya beberapa industrI atau pabrik sedang banyak yang tidak beroperasi. Maka dalam bentuk menjawab bahwa Citarum belum layak menjadi etalase, kita mengajak pemerintah beserta stakeholder lainnya untuk melakukan audit program Citarum Harum.
Melansir berita media massa, alokasi anggaran tahun 2023 untuk Program Citarum Harum saja sebesar Rp1,37 triliun yang mana anggaran tersebut bersumber dari APBN atau mencapai 58.22% dan APBD Kabupaten/kota sebesar 36.99%. WALHI mengkhawatirkan biaya ratusan milyar bahkan triliun tersebut tidak bisa maksimal digunakan dengan masih banyaknya masalah yang terjadi.
Catatan kritis kami di atas, bermaksud ingin mendesakan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Jawab Barat, agar segara bersikap tegas menghentikan segala bentuk kerusakan, tidak ada toleran lagi bagi pelaku perusakan dan pelaku pencemar limbah ke aneka sungai maupun ke sungai atau istilah lain ZERO TOLERANCE POLICY.
Agar dapat mewujudkan sikap ini dan tidak ada lagi toleran bagi pelaku perusak, maka kami memberikan desakan dan saran:
1. Segara lakukan Identifikasi yang di bagi menjadi tiga segmen (Segmen Hulu, Segmen Tengah dan Segmen Hilir). Langkah ini di maksudkan agar dapat menentukan akar masalah yang sebenarnya, karena dari setiap segmen baik dihulu, tengah hingga hilir masalahnya pasti berbeda.
2. Segera jalankan penegakan hukum bagi pelaku pencemaran dan pelaku perusak lingkungan. Ini menjadi kekharusan yang wajib dijalankan agar dapat menjawab masalah yang terjadi saat ini. Bukan lagi “pengendalian” sikap yang harus diambil melainkan “penghentian”.
3. Presiden dan Gubernur segera keluarkan sikap untuk menetapkan tanggal 24 Mei sebagai Peringatan Hari Citarum. Hal ini wajib dilakukan sebagai wujud penghargaan bagi para aktivis yang berhasil mendorong Bupati Kab. Bandung menetapkan 24 Mei sebagai Hari Citarum. Lebih jauh dari itu agar kita dapat diingatkan 5 program untuk mengatasi masalah serta anggaran yang luar biasa belum dapat mengurai akar masalah kerusakan sungai Citarum.
4. Stop perpanjangan PERPRES No. 15 tahun 2018 , tidak harus ada Citarum Harum Jilid 2.
(yev/r)