Oleh: Yusfitriadi
(Pengamat Kebijakan Politik dan Kebijakan Publik)
Jurnal Bogor – Larangan maupun pasal yang membolehkan Presiden dan para menterinya ikut berkampanye (berpihak) terhadap salah satu peserta pemilu, baik itu partai politik maupun pasangan calon presiden dan wakil presiden dua-duanya tertera dalam pasal-pasal Undang-undang No. 7 Tahun 2017. Pasal yang membolehkan presiden dan para menterinya berkampanye ada pada pasal 299, 300 dan 302. Sedangkan yang melarang pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional berkampaye ada pada pasal 282 dan 283.
Sehingga sangat wajar menimbulkan berbagai perdebatan ketika Jokowi declare secara terbuka bahwa presiden dan para mentrinya boleh berkampanye. Artinya boleh memihak salah satu peserta pemilu, baik partai politik maupun pasangan calon presiden dan wakil presiden. Sehingga polemik tersebut lebih disebabkan beberapa faktor.
Pertama, Pelanggaran etik. Karena antar pasal pada Undang-undang No. 7 tahun 2017 tidak sinkron, atau memang sudah didesain untuk adanya celah pejabat negara berpihak, maka perdebatannya ditarik ke ranah pelanggaran etik. Namun kita faham bahwa pelanggaran etik dimanapun akan menimbulkan multitafsir, sehingga rentan dimanipulasi oleh pihak-pihak yang diuntungkan secara politis.
Kedua, Fasilitas negara melekat pada pejabat negara. Pada pasal 299, 300 dan 302 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 presiden, wakil presiden dan para menterinya diperbolehkan berkampanye (berpihak) dengan catatan diberikan cuti dan tidak menggunakan fasilitas negara. Bagaimana fasilitas negara bisa terpisah dengan pejabatnya. Kemanapun pejabat negara itu jalan dan beraktivitas tidak mungkin bisa dilepaskan dengan fasilitas negaranya. Dan inilah yang kemudian sudah pasti disalahgunakan demi keberpihakan politiknya.
Ketiga, Berpotensi diikuti oleh pejabat negara lainnya. Ketika presiden sudah secara terbuka menyampaikan kepada publik akan cawe-cawe, membolehkan presiden dan para mentrinya berkampanye dan berpihak maka berpotensi diikuti oleh para pejabat struktural dan fungsional di bawahnya, seperti TNI dan POLRI, kepala daerah dan para kepala dinasnya, para camat, kepala desa dan pejabat-pejabat lainnya. Tentu saja dengan bersandar pada pasal-pasal yang ambigu seperti saya sebutkan di atas.
Namun kondisi ini menjadi sebuah penegasan dan pembenaran atas stigma publik dimana presiden jokowi merupakan suksesor calon pasangan presiden prabowo-gibran. Selain itu, fenomena declarnya presiden tersebut muncul di detik-detik akhir menjelang tahapan pungut hitung. Hal itu dinilai sebagai upaya totalitas Presiden Jokowi untuk memenagkan pasangan Prabowo-Gibran dengan satu putaran pemilihan calon presiden dan wakil presiden tahun 2024.
Karena sampai saat ini, dimana menuju waktu tahapan pungut hitung pemilu 2024 tinggal 20 hari lagi namun pasangan Prabowo-Gibran dari hasil berbagai lembaga survei belum mencapai 50 % + 1. Bahkan banyak lembaga survei yang menyatakan elektabilitas pasangan Prabowo-Gibran dalam posisi stagnan. Sedangkan pasangan nomor urut 1 dan 3 merangkak naik. Artinya kondisi ini sangat berpeluang untuk pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan 2 putaran. Dengan 2 putaran tersebut, maka kondisi menjadi “gambling”, bahkan pasangan Prabowo-Gibran bisa jadi terancam mengalami kekalahan. **