jurnalbogor.com- Kementerian Perhubungan (Kemenhub) melalui Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) telah menstop subsidi layanan Buy The Service (BTS) Biskita mulai 2024 ini.
Akibatnya, Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor harus menanggung beban subsidi Biskita pada empat koridor yang mencapai Rp56 miliar per tahunnya.
Ketua Komisi III DPRD Kota Bogor, H Zenal Abidin mengatakan bahwa pihaknya akan segera menggelar rapat kerja dengan Dinas Perhubungan (Dishub) dan Perusahaan Umum Daerah Transportasi Pakuan (PTP) perihal nasib Biskita.
“Biskita adalah salah satu alat transportasi umum yang digunakan masyarakat lantas bagaimana kelanjutannya bila subsidi distop. Ini juga akan berimbas pada program konversi angkutan kota (angkot),” ujar H Zenal kepada wartawan, Minggu (26/5/2024).
Menurut dia, subsidi Rp56 miliar per tahun yang dibebankan kepada Pemkot Bogor sangat berat. Sebab, Kota Bogor masih memiliki sektor-sektor yang harus menjadi prioritas. Di antaranya, kesehatan dan sarana prasarana pendidikan.
“Masih banyak bangunan sekolah yang perlu diintervensi APBD. Jangan sampai sektor lain menjadi korban akibat Biskita. Solusinya mesti kita pikirkan bersama,” tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Anggota Komisi III DPRD Kota Bogor, Zaenul Mutaqin (ZM) meminta Pemkot Bogor memikirkan dengan matang perihal pemberian subsidi Rp56 miliar bagi program BTS. Apalagi, hingga kini publik belum mengetahui berapa sharing profit yang didapat oleh PTP dari Biskita.
“Kita sama-sama ketahui dalam program Biskita ada Kodjari, bukan hanya PTP. Sampai sekarang belum ada juga laporan soal pendapatan ke DPRD,” katanya.
Politisi PPP ini menegaskan, apabila tujuan utama keberadaan Biskita untuk pelayanan kepada masyarakat, maka jangan sampai merugikan dan meminta subsidi.
“Subsidi Rp56 miliar per tahun itu sangat berat. Masih banyak sektor lain yang harus jadi prioritas,” ucapnya.
Kata ZM, meski kebijakan subsidi sudah termaktub dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2023 tentang transportasi. Namun, nominal yang mencapai Rp56 miliar sangat berat.
“Pemkot saja tiap tahun saat rapat Badan Anggaran selalu melakukan refosushing anggaran. Sekarang ditambah harus subsidi,” tegasnya.
Selain itu, ZM juga mempertanyakan status kepemilikan Biskita perihal wacana pemberian subsidi. Sebab, di dalam program BTS tak hanya melibatkan PTP, tetapi juga Kodjari.
“Harus dilihat kepemilikannya (Biskita) apakah murni Pemkot Bogor atau Kodjari. Kalau ada beberapa pihak dalam kepemilikan agak sulit, masa subsidi harus berbagi dengan pihak lain,” ungkapnya.
“Kalau seluruh kepemilikan punya Pemkot Bogor bisa dicarikan solusi bersama. Tapi yang pasti Kodjari selaku operator mesti ikut serta, jangan semua ditanggung pemerintah,” jelas ZM.
Seharusnya, sambung ZM, Pemkot Bogor mengambil ancang-ancang setelah mengambil program BTS Biskita, apalagi sejak awal telah diberitahu bila subsidi takkan berlangsung selamanya.
“Ya, harusnya Pemkot Bogor buat kajian komprehensif, seperti feasibility studies (FS) dan business plan, untuk menentukan langkah setelah subsidi distop,” tuturnya.
Lebih lanjut, kata dia, sebenarnya Pemkot Bogor bisa saja menolak program BTS sejak awal seperti Kabupaten Bogor. Sehingga tidak menjadi beban anggaran di kemudian hari.
(FDY)