jurnalbogor.com – Direktur Lembaga Studi Visi Nusantara (LS Vinus), Yusfitriadi menyebut isu skenario yang memaksakan Rena Da Frina untuk menjadi wakil Dedie A Rachim akan menimbulkan konflik dalam Koalisi Bogor Maju (KBM).
“Kalau dipaksakan Dedie dengan Rena akan menimbulkan kemarahan dari Golkar, Demokrat hingga Gerindra. Kendati Gerindra belum bergabung dengan KBM,” ungkap Yusfitriadi kepada wartawan, Senin (29/7/2024).
Kemarahan yang dimaksud, kata Yus, bisa saja membuat partai politik yang tergabung dalam KBM keluar. Di antaranya Golkar, apabila hal itu terjadi, maka Dedie A Rachim terancam tak bisa maju dalam kontestasi lima tahunan itu.
“Kalau tidak ‘diberesin’ partai KBM oleh Rena akan terjadi konflik. Bahkan Dedie bisa tidak nyalon karena PAN 5 kursi, Demokrat 3 kursi, dan PSI 1 kursi, jelas jumlahnya kurang,” ucap Yusfitriadi.
Kata Yusfitriadi, sebenarnya Dedie A Rachim mempunyai opsi yang jelas untuk urusan calon wakil wali kota. Yakni, Rusli Prihatevy dan Jenal Mutaqin.
“Ada dua sosok untuk wakil Dedie. Ada Rusli dan Jenal, walaupun Gerindra belum masuk dalam KBM,” tegasnya.
Lebih lanjut, kata Yus, kalau kemudian Rena Da Frina dipaksakan untuk mendampingi Dedie Rachim sesuai dengan kabar yang berhembus, maka hal itu bisa ‘membahayakan’ Dedie Rachim.
“Kalau kemudian kabar Rena disetting Bima itu benar, dan Rena menurut karena Bima dianggap bisa komunikasi dengan elit, tapi berujung PHP. Ini akan membahayakan Dedie,” katanya.
Yus menilai bahwa apabila Rena benar serius maju dalam Pilkada Kota Bogor, maka Kepala Dinas PUPR Kota Bogor itu lebih pas berpasangan dengan Dokter Rayendra.
“Namun konsekuensinya bisa merusak Bima di Pilgub Jabar karena menaruh orang di koalisi yang salah. Memang ini seperti buah simalakama,” katanya.
Lebih lanjut, kata Yus, berhembusnya isu Rena sebagai ‘bidak catur’ Bima Arya dilandasi beberapa hal. Di antaranya adalah kejumawaan Dedie Rachim lantaran elektabilitas yang nyaris tidak tergeser dengan menduduki puncak elektabikitas.
Bahkan, sambungnya, cenderung naik, maka elektabilitas calon wakil wali kota bukan hal yang penting bagi Dedie Rachim.
“Karena jika benar Rena disetting bima untuk menjadi calon wakil Dedie Rachim, sampai saat ini rena tidak memiliki elektabilitas yang cukup dibanding figur-figur yang lain,” jelasnya.
Kedua, kata Yus, hal itu berpotensi jebakan, sebab Rena bukan siapa-siapa dalam dinamika politik, dibanding sosok-sosok lain yang sudah berproses panjang menatap Pilkada 2024 ini.
Terkecuali, kata dia, pendekatan yang digunakan oleh Dedie dan Rena menggunakan pendekatan politik transaksional.
“Sangat mungkin seluruh partai di KBM akan menyetujui Rena menjadi pendamping Sedie Rachim dan meninggalkan Rusli. Namun, hingga kini Rena belum ada elektabilitasnya sama sekali,” ucapnya.
Terlepas dari itu, sambungnya, ada kemungkinan isu ini terus dikembangkan oleh lawan politik Dedie Rachim dalam rangka mengganggu soliditas KBM.
“Jika benar Rena merupakan settingan Bima, maka wajar ketiga publik dan elit politik dari pusat sampai struktur paling bawah, terutama elit politik yang tergabung dalam KIM di tingkat pusat dan KBM di tingkat kabupaten bogor, menganggap Bima adalah pengganggu soliditas KIM dan KBM,” katanya
“Jika stigma ini yang terjadi, bisa jadi menjadi batu sandungan Bima untuk mendapat rekomendasi dari partai-partai yang tergabung dalam KIM dalam menjadi calon gubernur atau wakil gubernur Jawa Barat,” katanya.
Namun, Yusfitriadi meyakini DPP partai apapun akan melihat secara obyektif dan dengan pertimbangan yang cermat dalam memberikan rekomendasi kepada pasangan calon dalam pemilihan wali kota dan wakil wali kota.
(FDY)