jurnalbogor.com – Akademisi Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor, Yama Sumbodo, menilai langkah Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Gerindra Kabupaten Bogor yang menolak masuknya Ketua Projo Budi Arie Setiadi sebagai bentuk penegasan moral politik terhadap praktik oportunistik pasca kemenangan Pilpres 2024.
Menurut Yama, sikap tegas tersebut menggambarkan adanya kesadaran politik akar rumput untuk menjaga integritas perjuangan partai dan menolak arus politik transaksional yang muncul setelah kemenangan.
“Penolakan DPC Gerindra Kabupaten Bogor terhadap Budi Arie bisa dibaca sebagai bentuk penegasan sikap, bahwa politik tidak boleh sekadar jadi ajang transaksi atau bagi-bagi kekuasaan,” ujar Yama Sumbodo, Dosen Komunikasi UIKA sekaligus Kandidat Doktor Komunikasi Politik Universitas Padjadjaran, kepada JurnalBogor, Selasa (11/11/2025).
Ia menambahkan, Gerindra di tingkat daerah berusaha menegaskan nilai loyalitas dan konsistensi perjuangan sebagai fondasi utama dalam politik.
“Ini menunjukkan adanya kesadaran di akar rumput untuk menjaga integritas partai dan menolak praktik politik yang hanya bersifat oportunistik. Gerindra di daerah ingin menegaskan bahwa loyalitas dan komitmen perjuangan lebih penting daripada sekadar kedekatan dengan kekuasaan,” lanjutnya.
Yama juga menyoroti hubungan sensitif antara Projo dan Gerindra dalam dua Pilpres sebelumnya, yang menurutnya menjadi dasar kecurigaan kader terhadap motif politik Budi Arie.
“Apalagi Budi Arie dan Projo punya sejarah yang cukup sensitif ketika berseberangan dalam Pilpres 2014 dan 2019,” ungkapnya.
Dalam wawancara lanjutan, Yama menilai langkah DPC Gerindra Bogor bukan sekadar reaksi emosional, tetapi bentuk kewaspadaan politik terhadap upaya menunggangi kemenangan partai.
“Budi Arie dan Projo mungkin lupa akan sejarah. Pilpres 2014 dan 2019 terlihat jelas bagaimana sikap politik mereka kepada Pak Prabowo dan Gerindra,” tegasnya.
Ia menjelaskan, perjuangan panjang para kader dan simpatisan Gerindra yang kini berhasil mengantarkan Prabowo menjadi Presiden, tidak seharusnya disamakan dengan pihak yang baru mendekat setelah kemenangan.
“Perjuangan para simpatisan dan Gerindra yang sekarang mengantarkan kemenangan Pak Prabowo, tiba-tiba mereka mau ikut gerbong. Ya tentu langsung dibaca oleh para kader sebagai aji mumpung yang menjadi blunder ideologis Projo dan Budi Arie,” ujarnya.
Yama menegaskan, Gerindra memiliki basis kekuatan politik yang solid dari pusat hingga akar rumput, dan keputusan partai seharusnya tetap mengutamakan kader yang telah berjuang sejak awal.
“Gerindra itu partai besar dan solid. Dari akar rumput sampai ke pusat memiliki daya juang dan loyalitas. Ketika Projo mengklaim diri sebagai salah satu yang mengantarkan Prabowo dan Gibran jadi pemenang, sah-sah saja, tapi kalau dikalkulasikan hanya sebagian kecil,” jelasnya.
Menurutnya, penolakan dari pengurus daerah seperti di Bogor serta suara dari organisasi sayap partai perlu dijadikan bahan pertimbangan penting bagi pimpinan partai di tingkat pusat.
“Masukan dan penolakan dari berbagai pengurus daerah dan organisasi sayap partai tentu menjadi bahan berharga bagi internal partai, apalagi untuk menjaga dukungan penuh terhadap Presiden Prabowo di periode berikutnya,” pungkas Yama.
Sebelumnya, dikutip JurnalBogor dari berita Radar Bogor berjudul “DPC Gerindra Kabupaten Bogor Tolak Budi Arie Gabung Partai Gerindra, Iwan Setiawan Sebut 2009 Hingga 2019 Mereka Tahu Lawannya Siapa!” yang ditulis oleh Abilly Muhamad pada Senin, 10 November 2025, Ketua DPC Gerindra Kabupaten Bogor Iwan Setiawan menyampaikan bahwa pihaknya menolak Budi Arie bergabung dengan alasan motif politik yang diragukan.
“Kalau hanya masuk untuk melihat Gerindra sedang pemenang Pilpres, ya motifnya kita nggak tahu. Makanya harus waspada, jangan sampai masuknya ada motif lain, tujuan lain ingin tujuan apa gitu,” kata Iwan.
(fauzan/mg)






