jurnalbogor.com – Bersama warga dari 8 kabupaten di Jawa Barat, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menagih janji pemenuhan hak atas tanah di kawasan hutan di Kabupaten Bogor, Kuningan, Majalengka, Subang, Karawang, Cianjur, Garut, dan Bandung Barat.
Terbitnya PP 23/2021 mengatur tentang penyelesaian penguasaan tanah dalam Kawasan Hutan Negara yang dilakukan dengan Penataan Kawasan Hutan. Sejak saat itu tidak terkecuali masyarakat dari kabupaten di Jawa Barat mengajukan pengusulan penyelesaian permukiman dan lahan garapannya yang sebelumnya diklaim sebagai kawasan hutan negara.
Masyarakat dari Kabupaten Kuningan, Majalengka, Subang, Karawang, Bogor, Cianjur, Garut, dan Bandung Barat ini mendatangi kantor KLHK untuk menuntut kejelasan nasib mereka.
Pertemuan di KLHK ditemui oleh Kasubdit Pengukuhan Kawasan Hutan, Taufik pada 11 September 2024. Dalam pertemuan diterangkan bahwa terdapat kendala birokratis untuk menjawab protes masyarakat atas nasibnya. Selain itu, melalui keterangan Kasubdit diperoleh kenyataan bahwa hanya ada kurang lebih 300 hektare di Provinsi Jawa Barat yang akan diselesaikan melalui skema pelepasan.
Hal ini tentu mengecewakan. Pasalnya data luasan pengusulan dari masyarakat setidaknya terdapat kurang lebih 964 hektare yang hanya untuk kawasan permukiman mereka. Inipun masih yang ada di 8 kabupaten. Masyarakat mempertanyakan hasil penelitian dari Timdu dalam rangka penyelesaian masalah ini tidak pernah dibuka secara transparan.
Selain itu, masyarakat meragukan hasil penelitian yang dilakukan dengan proses penelitian 2 hari untuk satu kabupaten. Satu hari untuk verifikasi dokumen dan satu hari sisanya untuk verifikasi lapangan. Tentu dan proses yang seperti ini, diragukan mendapat hasil penelitian yang komprehensif.
Dalam pertemuan ini, Deni Jasmara, dari Serikat Hijau Indonesia menyatakan, “Seharusnya pemerintah dapat menentukan prioritas dan memberikan informasi perkembangan secara berkala ke masyarakat,” ucapnya di Jakarta, 12 September 2024.
Mengingat sampai dengan 2 tahun tidak ada kabar sampai sebelum masyarakat mendatangi kantor KLHK di Jakarta, “Adapun prioritas dapat dilakukan untuk klasifikasi penyelesaian di atas kawasan hutan produksi atau hutan lindung terlebih dahulu,” imbuhnya.
Penyelesaian melalui skema pelepasan setidaknya dapat dilakukan secara cepat di atas kawasan Hutan Produksi yang terdapat di Kabupaten Bogor, Bandung Barat, dan Cianjur.
Manajer Pengakuan Wilayah Kelola Rakyat, Ferry Widodo, dan Eksekutif Nasional WALHI pun mempersoalkan hasil dari penelitian Timdu. “Cara kerja Timdu tidak sesuai dengan ketentuan aturan teknis dalam Permen nomor 7 tahun 2021. Seharusnya terdapat mekanisme kerja untuk melakukan validasi data ke pemerintah desa dan masyarakat,” imbuhnya.
Selain itu, Ferry meminta terbukanya data hasil penelitian dari Timdu untuk masyarakat.
Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, Wahyudin, menuturkan preses yang berjalan kemarin bukti ketidakseriusan KLHK dalam memfasilitasi rakyatnya, begitu timpang respon serta fasilitas yang di berikan KLHK kepada perusahaan ketimbang masyarakat.
“Masyarakat butuh kepastian, rakyat butuh kejelasan tempat tinggal yang jelas dari negara. Sudah saatnya pemerintah melalui KLHK menjalankan amanat kebijakan yang tertuang pada kebijakan KHDPK dalam rangka menyejahterakan rakyat di sekitar kawasan hutan melalui skema PPTKH.
Wahyudin yang disapa Iwang menegaskan, dalam hal ini sudah terbukti bahwa Menteri LHK selalu lamban merespons pengaduan rakyatnya, jangankan mengabulkan permohonannya merespons rakyatnya saja dirasa enggan untuk menemuinya. Jika pun rakyat diterima kedatangannya malah di lempar kepada lembaga yang tidak memiliki informasi yang jelas serta tidak memiliki kewenangan dalam pengambilan kebijakan.
“Dengan itu kami meminta agar segera jalankan kebijakan yang ada serta sampaikan secara transparan hasil yang telah dikerjakan serta dilaporkan oleh Tim Terpadu yang telah dibentuk KLHK,” tegas Wahyudin.
Sementara pada pertemuan ini masyarakat hadir untuk meminta keseriusan KLHK dalam menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi. Ada beberapa lokasi desa atau tempat hidup mereka yang dalam historinya bahkan telah ada jauh sebelum Republik ini berdiri. Sebagian besar masyarakat bahkan tidak mengetahui secara tiba-tiba mengapa tempat tinggal dan ruang hidupnya menjadi kawasan hutan. Secara umum dari data pengusulan yang diajukan oleh masyarakat dari 8 kabupaten di Provinsi Jawa Barat ini, tanah yang mereka tempati telah mereka rawat dan manfaatkan dalam kurun waktu seminimalnya selama 20 tahun.
Sehingga, dalam pertemuan ini masyarakat menyampaikan harapan dan kepercayaan kepada KLHK untuk dapat bekerja serius untuk menyelesaikan persoalan ini dalam waktu singkat. Masyarakat percaya hal ini akan menjadi capaian dan peninggalan jejak baik dari Menteri LHK dalam 10 tahun waktu bekerja.
Masyarakat berharap persoalan ini dapat diselesaikan sebelum transisi pemerintahan. Masyarakat khawatir akan terjadi perubahan kebijakan dan perubahan sikap political will dari pergantian pemerintahan kedepan dan mengulang proses yang telah mereka perjuangkan selama ini.
Sementara, Aktivis Lingkungan Hidup Bogor Raya, Sabilillah, menambahkan luas lahan hutan di wilayah Bogor mengalami penyusutan setiap tahunnya karena adanya ketidak-adilan dan keserakahan.
“Rakyat hanya menjadi penonton ketika lahan menjadi HGU, bahkan masuk ke lahan HGU pun diancam jerat hukum,” ungkapnya.
Ia menambahkan, selama ini Naskah Kesepakatan Kerjasama Kemitraan begitu mudahnya diperoleh investor, bahkan di perpanjangan masa berlakunya dengan dalih pemanfaatan kawasan hutan dapat bermanfaat kepada rakyat di sekitar kawasan hutan, namun faktanya tidak demikian.
“Jadi, ya perlu diaudit dan pulihkan,” tandasnya.
(yev/r)