jurnalbogor.com – Betul para Sahabat Samudera C.81 Faperikan IPB, adanya pembukaan penambangan pasir laut dan pasirnya diekspor ke negara tetangga Singapura, ini menunjukan gejala sosial bahwa rezim yang berkuasa saat ini, sedang dikendalikan oligarky power.
Rezim yang tengah berkuasa (the ruling party) mas Joko dengan dikeluarkannya Kepres tentang eksploitasi pasir laut, telah melanggar komitmen bersama masyarakat global dibawah kendali PBB yaitu konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), dimana setiap negara anggota PBB wajib dan patuh menjalankan pembangunan yang berdimensi ekonomi, ekologi dan ekososial secara bersinergi mutualistik dan berkeseimbangan, demi menjaga pemenuhan kebutuhan generasi kini dan mendatang.
Rezim yang berkuasa (the ruling party) saat ini membuat public policy dalam pengelolaan sumberdaya alam laut, berupa pemanfaatan pasir laut, pola dan cara berpikir amatlah sempit, parsial dan jangka pendek, tidak berpikir holistik, sistemik dan brrsifat jangka panjang.
Mereka hanya berpikir mencari uang, kapital semata, yang tidak berkesudahan dengan hasil tambang yang mencemari dan merusak ekosistem alam guna meraup, mengejar keuntungan sebesar-besarnya dalam waktu singkat. Hal ini terjadi merupakan refleksi watak dan tabiat jahat, nafsu serakah (greedy) yang tengah membelenggu mereka. Mereka tak peduli pelestarian lingkungan alam (konservasi, preservasi) dan masa bodoh dgn nasib rakyat tempatan seperti nelayan yang sehari-hari hidup menangkap ikan di perairan pesisir dan pulau-pulau kecil, yang 2000 lebih jumlahnya.
Masa depan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di provinsi Kepulauan Riau akan lebih miskin dan sengsara, apabila sumberdaya perikanan dan kelautan spt ikan karang (demersal seperti kerapu, bawal, dll) punah karena ekosistem terumbu karangnya hancur oleh kegiatan penyedotan pasir laut. Pengerukan pasir laut dengan sejumlah kapal penyedot pasir juga mengganggu lalu lintas kapal, air lautnya pun keruh.
Dampak negatif daerah penangkap ikan (fishing ground) akan mengalami kerusakan, akibatnya nelayan lokal berskala kecil (nelayan artisanal), yang menangkap ikan di sekitar pantai akan kehilangan mata pencarian. Tragisnya nelayan tempatan yang hidup dan bermukim di pulau-pulau kecil, yang ribuan pulau di daerah Kepulauan Riau, akan menganggur, penghasilan rendah, ‘hidup sulit dan kesengsaraan pun melanda masyarakat pesisir dan pulau-pu;au kecil terjadi.
Jika ini, pengeksploitasian pasir laut ini, terus berlanjut dimana pasirnya diekspor ke negara tetangga terdekat Singapura, yang konon katanya pasirnya digunakan untuk reklamasi kawasan pantai dalam rangka memperluas wilayah negara, dan mempersempit wilayah perbatasan NKRI.
Sebenarnya keuntungan amar besar lainnya yang diperoleh impotir pasir/pengusaha Singapura adalah diperolehnya kandungan pasir berupa zat logam yang mahal harganya. Konon kata ahli material, kuarsa pasir laut bisa dijadikan bahan industri pesawat terbang, dll. Pengusaha Singapura itu cerdas berbisnisnya, sebelum pasir ditimbun (reklamasi) ke kawasan pantai Singapura yang diangkut beribu-ribu kapal pengangkut (kapal tongkang) bermuatan jutaan ton pasir laut, terlebih dahulu pasirnya diolah atau ditapis dahulu untuk mendapatkan butiran pasir kuarsa perairan laut, berupa logam berat untuk bahan/material pembuatan pesawat terbang, termasuk juga kandungan pasir laut berupa logam mulia emas dan perak yang tinggi harganya.
Kesimpulannya bisnis ekspor pasir laut ini sangat menguntungkan bagi importir atau pengusaha Singapura, karena mendapatkan komoditas material yang bernilai ekonomi tinggi, juga pertambahan luas lahan untuk usaha bisnis, investasi property dan kawasan industri-perdagangan negara Singapura semakin menguntungkan.
Sebaliknya bagi negara kita Indonesia yang kaya sumberdaya alam, terutama daerah Kepulauan Riau seperti pasir laut yang ada di sekitar pulau-pulau kecil seperti Karimun-Daek. Batam, Lingga-Dabo Singkep, Bintan, Siantan- Tarempa, Ranai-Natuna dll, masyarakat tempatannya (local community) akan menerima dampak negatifnya seperti yang diungkapkan diatas, yaitu kondisi sosialnya semakin memburuk yakni kemiskinan, keterbelakangan dan kemelaratan akibat rusaknya atau hancurnya ekosistem perairan laut di sekitar pulau-pulau kecil.
Bahkan menurut pengalaman pahit yang dialami akibat maraknya kegiatan penambangan pasir laut, dan diekspor pasirnya ke negara Singapura tempo dulu di era Orde Baru, ada beberapa pulau kecil yang tenggelam dan hilang di kawasan perairan pelayaran laut antara Batam-Karimun, dan juga daerah lainnya spt Dabo-Singkep (Lingga) etc.
Memang diakui bahwa bisnis pasir laut yang dilakukan segelintir eksportir Indonesia, yang notabenenya juga pebisnis etnis Tionghoa (China) yang bermukim dan berkewargaan negara Singapura sebagai pemodalnya, bangsa Indonesia hanya cukup pinjam nama saja atau “catut nama” rent seekers.
Sangat masuk diakal bahwa bisnis ekspor pasir laut tersebut, membuat para pebisnis Singapura menjadi kaya raya, dampak lainnya ada juga bagi pemberi izin, teristimewa mereka yang tengah berkuasa (the party) akan kecipratan surplus ekonomi, berupa keuntungan dari usaha penambangan dan perdagangan ekspor pasir laut ini, yang jumlah rupiah bukan bernilai ratusan juta lagi, bahkan miliaran, boleh jadi triliunan rupiah. Lumayan untuk menambah pundi-pundi logistik Parpol, the ruling party untuk menopang aktivitas politik guna pemenangan pemilu (pileg dan pilpres) thn 2024 yang baru berlalu.
Kesimpulannya adanya kegiatan penambangan pasir laut, dan dibukanya kembali usaha bisnis ekspor-impor pasir laut dari Kepulauan Riau, Indonesia ke negara terdekat Singapura, seperti yang 20 tahun lalu pernah dilakukan di era Orba, kemudian di era Orde Reformasi ditutup atau distop oleh senior dan guruku bpk Prof Dr Ir.Rokhmin Dahuri, MS selaku Menteri Kelautan dan Perikanan RI waktu itu, sekarang beliau menjadi salah seorang Ketua DPP PDIP, kini pada Pileg 2024 beliau telah terpilih menjadi anggota DPR RI.
Astaghfirullah, kini rezim penguasa bpk Jokowi, membuka kembali kegiatan dan bisnis Pasir Laut, dengan alasan yang tak begitu jelas. Padahal berdasarkan pengalaman, sebagaimana saya narasikan bahwa usaha penambangan dan ekspor-impor pasir laut dari Indonesia untuk Singapura, dapat kita katakan bagi rakyat Indonesia akan bernasib ‘buntung” sedangkan bagi rakyat Singapura perolehan “untung” yang sangat besar, yang meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
Sementara rakyat pulau-pulau kecil Indonesia, tempat sumberdaya pasir laut itu berada, pernah, sedang dan akan menunggu bencana ekologis-alam akibat rusak ekosistem perairan laut dan hilangnya flora dan fauna aquatik (ikan dan biota laut lainnya) seperti aneka keindahan terumbu karang, hutan bakau (mangrove), aneka ragam ikan karang (demersal) yang enak-lezat, bergizi tinggi, mahal harganya apalagi di waktu tahun baru China (imlek), dan jumlahnya pun melimpah di daerah Kepulauan Riau.
Barang sumberdaya laut berupa sumberdaya hayati seperti ikan karang dan biota laut lainya seperti Siput laut (orang KepRiau, menyebutnya Gonggong), kepiting-Rajungan, ikan Kerapu, ikan Dingkis (Baronang), dll telah dimanfaatkan sejak lama untuk pemenuhan gizi-pangan, makanan bagi masyarakat lokal dan memasok ribuan restoran “sea food” dan hotel yang ada di kawasan destinasi wisata Batam, Bintan, Karimun, Lingga, Dabo-Singkep, dan sekitarnya.
Apabila penambangan pasir laut tetap dilanjutkan dan diberi izin oleh kaum penguasa (the ruling party) yang berkolusi dengan segelintir pemilik modal besar (oligarky), maka tunggulah saatnya masyarakat lokal dan bisnis restoran dan perhotelan tersebar di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil daerah Batam, Bintan, Karimun dll di negeri Gurindam 12 (bunda Melayu), Kepulauan Riau mengalami kebuntungan, akibat bisnis kuliner dan ekowisata akan bangkrut (collapse) disebabkan semakin langka dan hilangnya barang sumberdaya bernilai ekonomis tinggi tersebut.
Sekedar mengingatkan berdasarkan saintific-literature study Ekonomi SDA, ada 4 fungsi SDAL termasuk ekosistem pesisir, perairan laut, dan pulau-pulau kecil yaitu: (1) pensuplay sumberdaya bahan baku (raw material) dalam krgiatan industri dan perdagangan guna memenuhi kebutuhan dasar manusia, kebutuhan ekonomi diantaranya yang vital pangan dsn energi, (2) pendukung sistem kehidupan (life supporting system, ecology function) mempertahankan mata rantai makanan dan keseimbangan alam, (3) penyedia jasa-jasa lingkungan (amenities) spt keindahan, estetika lanscape alam, iklim nyaman, suasana nyaman dll, dan (4) ekosistem alam penyedia daya assimilasi, pelarut dan penghancur limbah( waste, residuals) sehingga lingkugan alam tanah, air dan udara tetap bersih.
Makanya jika ekosistem SDAL perairan laut dirusak dan dihancurkan, akibat kesalahan dan kegagalan kebijakan Pemerintah, akan membuat kehidupan umat manusia dan rakyat akan merana dan hidup sengsara, tanpa kecuali, terutama nelayan lokal dimana barang dan jasa SDAL terdapat dan tersedia.
Saya menarasikan gambaran sebagian dampak negatif bermaksud agar si pembuat konsep dan penentu kebijakan dan regulasi pembukaan kembali kegiatan penambangan dan bisnis ekspor pasir laut, seharusnya mempertimbangan variabel ekologis dan ekososial, bukan hanya semata-mata variabel ekonomis yang memperoleh “untung” segelintir orang penguasa dan pengusaha (oligarky). Sebaliknya dampak negatif penambangan pasir terjadi pencemaran air menjadi keruh, fishing ground hancur, membuat nasib nelayan, rakyat lokal menjadi “buntung”, sangat dirugikan, merana dan hidup sengsara selama-lamanya.
Ingat isi konstitusi negara, UUD 1945 terutama pasal 33 bahwa bumi dan air, yang terkandung didalamnya (sumberdaya alam spt pasir, ikan, biota laut, ekosistem perairan dll) dimanfaatkan bersama untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya, bukan untuk kemakmuran orang per seorangan (oknum pejabat negara dan oligarky). Presiden RI, Yml Bapak Jokowi sudah seharusnya dan wajib menjalankan perintah dan amanah konstitusi bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pasal 33 (bab Kesejahteraan Sosial) UUD 1945 ini secara murni dan konsekwen.
Janganlah sampai rakyat berpikir negatif terhadap rezim Pemerintahan NKRI saat ini, bahwa mereka tidak bisa dan tidak mampu berkerja kreatif dan inovatif menambang pajak dan devisa negara, dengan hanya mengeksploitasi dan mengekspor pasir laut ke Singapura.
Sebenarnya kita harus malu sebagai negara yang amat luas dan besar, dengan menjual pasir laut ke negara kecil Singapura, para elite politik (the ruling party) telah merendahkan harga diri dan martabat (dignity) bangsanya sendiri, karena telah menjual tanah, air dan udaranya ke negara terdekat dan terkecil negara Singapura.
Ingat sumberdaya air, minyak dan lalu lintas udara (penerbangan) Singapura telah lama diambil, digunakan dan atau disewakan dengan mudah dan murah dari Pemerintah Indonesia. Kini muncul lagi ekspor pasir laut besar-besaran yang sangat merusak ekosistem perairan Iaut Indonesia, guna memperluas wilayah negara pulau Singapura.
Harapan kita kepada bpk Presiden RI segeralah mencabut Kepres tentang Penambangan Pasir Laut yang kini sangat meresahkan dan menghawatirkan masa depan atau terancamnya keselamatan dan nasib rakyat tempatan (local community) seperti nelayan artisanal, usaha menangkap ikan skala kecil di pantai dan sekitar selat di kawasan Kepulauan Riau, karena penambangan pasir laut, daerah operasinya di antara pulau-pulau kecil di KepRiau, sudah dipastikan merusak dan menghancurkan ekosistem perairan, terutama daerah penangkapan ikan (fishing ground) di kawasan pesisir (coastal zone).
Demikian narasi ringkas ini dibuat, agar menjadi perhatian berbagai pihak (stakeholders) yang telah berkomitmen mewujudkan 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) global, yang telah disepakati para pemimpin dunia di world summit di Rio Jenairo Brazil thn 1992, bahwa setiap kegiatan pembangunan di suatu negara, termasuk Indonesia wajib memperhatikan 3 aspek yakni pertumbuhan ekonomi dan investasi, akan tetapi berkewajiban pula mempertahan dan melestarikan ekosistem alam (ekologis) dan berkomitmen untuk mensejahterakan rakyat secara berkeadilan dan berkeadaban (ekososial, social equity and dignity).
Kita harus paham, mewaspadai bahwa usaha penambangan pasir laut di masa Orde Baru pada thn 1990-an hanya mereka para elite politik dan birokrasi hanya memperioritaskan variabel ekonomi secara sepihak, hanya untuk meraup pajak-devisa negara yang tak seberapa, dan tak sebanding dengan biaya ekologis berupa bencana alam yg akan menghadang masyarakat lokal, karena mengabaikan variabel lingkungan ekosistem (ecologis) dan variabel-variabel sosial-budaya dan sosial politik lainnya (ecosocial).
Mari kita bersama kita wujudkan visi dan misi Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) yakni usaha pembangunan wajib memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan tanpa mengabaikan kebutuhan generasi yang akan datang, yakni anak, cucu dan cicit kita yang juga membutuhkan barang sumberdaya alam seperti kita nikmati saat ini. Kita berkewajiban melestarikan sumberdaya alam dan lingkungan (SDAL) yang kaya keanekaragaman hayati (mega biodiversity) yang kita miliki bersama (state and communal property right), diantara sumberdaya alam pasir laut. Ingat juga bahwa sumberdaya alam laut, bukanlah milik para cukong-pengusaha besar (oligarky), akan tetapi milik masyarakat lokal-masyarakat adat secara turun temurun.
Sekian dan terima kasih, semoga tulisan ini bagi yang sempat membaca dapat membangkitkan kesadaran, dan kepedulian kita akan dampak buruk multi aspek dari kegiatan penambangan pasir laut tersebut, terutama dianalisis dari perspektif ekologis dan ekososial. barakallah.
Save Rakyat KepRi dan NKRI
Wassalam
====✅✅✅
Dr.Ir.H.Apendi Arsyad,M.Si, ahli dan pakar SDAL, alumni IPB University, dengan karya ilmiah skripsi S1, tesis magister S2, dan disertasi Doktor S3, semua lokasi riset di Kawasan Batam dan Bintan Kepulauan Riau, Team Leader and member Jasa konsultan proyek2 studi RPMJ Provinsi Kepulauan Riau dan studi dokumen Perencanaan Pembangunan Provinsi Kep.Riau beserta beberapa Kabupaten di KepRiau, Dosen (Assosiate Profesor) dan Pendiri Universitas Djuanda Bogor, Pendiri dan Wasek Wankar ICMI Pusat, Pegiat dan Pengamat Sosial)