jurnalbogor.com — Turunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah disebut sebagai konsekuensi dari ketidakkonsistenan pemerintah dalam kebijakan maupun pernyataan. Pengamat politik Iqbal Damanik menegaskan bahwa akar persoalan bukan terletak pada maraknya hoaks, melainkan pada sikap pemerintah yang sering berubah-ubah dan tidak sejalan dengan janji yang pernah disampaikan kepada publik.
“Kepercayaan publik itu turun bukan karena hoaks, tapi karena pemerintah sendiri tidak konsisten,” ujar Iqbal Damanik yang dikutip dari unggahan kanal YouTube Abraham Samad Speak Up berjudul “Greenpeace Bocorkan 3 Nama Menteri & Korporasi Yang Bertanggung Jawab Dalam Tragedi Banjir Sumatera”, pada Selasa, 2 Desember 2025.
Menurut Iqbal, perubahan kebijakan yang mendadak dan komunikasi yang tidak stabil membuat masyarakat kehilangan pegangan dan memicu pertanyaan mengenai komitmen pemerintah terhadap kepentingan publik. Ia menilai kondisi tersebut berpotensi melemahkan legitimasi pemerintah dan mengganggu stabilitas demokrasi.
Penilaian serupa disampaikan oleh Yama Sumbodo, Akademisi UIKA dan Direktur Eksekutif Indonesian Politic and Policy Institute (IPPI), dalam wawancara dengan JurnalBogor pada Rabu, 3 Desember 2025.
Ia menegaskan bahwa akar persoalan krisis kepercayaan terletak pada ketidakkonsistenan pemerintah.
“Ketidakkonsistenan pemerintah adalah faktor utama yang menggerus kepercayaan publik. Bukan hoaks yang paling berbahaya, melainkan janji yang tidak ditepati dan kebijakan yang berubah tanpa arah. Ketika publik merasa dikhianati, legitimasi politik melemah dan stabilitas pemerintahan ikut terancam.”
Yama menambahkan bahwa transparansi dan konsistensi bukan sekadar etika politik, tetapi syarat dasar untuk menjaga stabilitas pemerintahan dalam negara demokratis. “Transparansi dan konsistensi adalah syarat dasar menjaga kepercayaan dan kestabilan demokrasi,” tegasnya.
Selain persoalan kepercayaan publik, Iqbal Damanik juga mengingatkan bahwa demokrasi Indonesia tengah menghadapi ancaman serius akibat menguatnya praktik dinasti politik.
“Yang kita hadapi sekarang bukan demokrasi, tapi konsolidasi dinasti politik yang semakin kuat,” tegasnya dalam pernyataan yang dikutip dari kanal Abraham Samad Speak Up, pada 2 Desember 2025.
Menanggapi hal tersebut, Yama Sumbodo menilai bahwa fenomena konsentrasi kekuasaan pada lingkaran keluarga maupun jaringan politik sempit menjadi ancaman struktural bagi masa depan demokrasi.
“Ketika kekuasaan terpusat pada kelompok keluarga atau jejaring sempit, ruang kompetisi yang adil semakin menyempit, talenta politik baru terhambat, dan demokrasi kehilangan substansinya. Jika tren ini dibiarkan, Indonesia berisiko bergerak dari demokrasi partisipatif menuju elitisme tertutup yang mengabaikan kepentingan publik,” jelasnya.
Di tengah menguatnya dinasti politik dan merosotnya kepercayaan publik, Iqbal menekankan pentingnya peran masyarakat dalam mengawasi jalannya pemerintahan.
“Kalau publik diam, kekuasaan akan seenaknya. Pengawasan itu bukan pilihan, tapi kewajiban,” tegasnya.
Peringatan tersebut, menurut Yama, merupakan pesan penting bagi seluruh masyarakat sipil bahwa demokrasi hanya dapat berjalan jika publik aktif menjaga dan mengawasi kekuasaan.
“Tanpa tekanan masyarakat sipil, kekuasaan cenderung tidak akuntabel dan rentan disalahgunakan. Karena itu, keterlibatan publik adalah kewajiban moral untuk memastikan pemerintah bekerja bagi rakyat, bukan untuk kepentingan kelompok tertentu,” pungkasnya.
(*)






