Jurnalbogor.com – Ketahanan pangan menjadi isu global yang semakin mendesak. Food and Agriculture Organization (FAO) memperkirakan bahwa pada tahun 2050, kebutuhan pangan manusia akan meningkat hampir dua kali lipat. Di sisi lain terdapat tantangan dala pemenuhan pangan, salah satunya adalah serangan penyakit tanaman yang menurunkan produktivitas dan kualitas hasil pertanian.
Selama beberapa dekade terakhir, petani di Indonesia mengandalkan pupuk dan pestisida kimia sintetis untuk menjaga hasil panen. Teknik budidaya yang mulai populer sejak era Revolusi Hijau pada 1960-an ini memang berhasil meningkatkan produksi dalam jangka pendek, namun di balik itu menimbulkan dampak serius. Penggunaan yang berlebihan membuat tanah kehilangan kesuburannya, merusak sifat fisik maupun kimia tanah, serta memicu ketergantungan petani pada input eksternal yang mahal.
Akibatnya, biaya produksi meningkat, sementara kesehatan tanah dan lingkungan semakin menurun, dan telah mengesampingkan organisme yang bertanggung jawab dalam menjaga suatu tanaman dapat berkembang sesuai potensi genetiknya. Hal ini disampaikan oleh Prof. Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si, yang akrab dipanggil Prof Asih, dalam orasi ilmiah guru besarnya di IPB University, Sabtu (20/9/25).
“Praktik ini sudah kita sadari telah merugikan pertanian kita secara perlahan. Kita membutuhkan sistem pertanian yang lebih sehat dan berkelanjutan,” tutur Prof. Asih dalam orasi ilmiahnya.
Sebagai jawaban atas tantangan ini, Prof. Asih bersama timnya menaruh perhatian pada kelompok bakteri menguntungkan yang selama ini jarang dilirik dalam penelitian pertanian, yakni aktinomiset. Bakteri ini memiliki kemampuan luar biasa: merangsang pertumbuhan tanaman, meningkatkan ketahanan terhadap hama dan penyakit, sekaligus berperan sebagai simbion yang hidup berdampingan dalam jaringan tanaman.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktinomiset mampu menghambat cendawan patogen penyebab penyakit tanaman dan memacu pertumbuhan tanaman. Sebagai contoh, percobaan yang dilakukan Prof Asih pada benih jagung yang diberi perlakuan aktinomiset tumbuh lebih cepat, membentuk akar lebih panjang, dan memiliki jumlah akar lebih banyak dibanding benih tanpa perlakuan.
“Selain dapat menghambat pertumbuhan cendawan patogen penyebab penyakit tanaman, ini juga bisa memacu pertumbuhan dan menambah kesehatan tanaman” ungkapnya.
Inovasi berbasis mikroba ini akan mendukung praktik pertanian regeneratif di Indonesia. Eksplorasi aktinomiset berpotensi menjaga keanekaragaman hayati di dalam ekosistem pertanian. Dengan keragaman ekosistem tropis yang tinggi, Indonesia memiliki peluang besar untuk menemukan aktinomiset unggul. Harapannya, formulasi tersebut akan menjadi senjata baru bagi petani untuk meningkatkan produktivitas tanpa merusak kesehatan tanah maupun lingkungan.
“Tren pertanian saat ini mulai beralih dari pendekatan Industrial Agriculture dan mengarah ke Regenerative Agriculture yang bertujuan untuk meningkatkan keaneka-ragaman hayati, kesehatan tanah dan produksi pangan berkelanjutan. Pemanfaatan Aktinomiset dapat diselaraskan dengan tujuan dari pertanian regeneratif tersebut,” tuturnya.
Dengan temuan ini, IPB University menunjukkan perannya dalam mencari solusi konkret atas tantangan pertanian global. Melalui kolaborasi riset dan implementasi di lapangan, aktinomiset diharapkan dapat segera dimanfaatkan secara luas, sehingga petani Indonesia memiliki alternatif nyata untuk membangun sistem pertanian yang lebih tangguh, efisien, dan berdaya saing di masa depan.
(Yudi)