jurnalbogor.com – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nasional menyoroti kebijakan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah memutuskan untuk memberi ruang kepada masyarakat di kawasan hutan berkebun tanpa izin pemerintah pusat.
WALHI Nasional memandang bahwa putusan Mahkamah Konstitusi ini sebagai langkah penting untuk mengembalikan rasa keadilan bagi masyarakat adat dan petani yang selama ini hidup di sekitar kawasan hutan. Putusan ini menegaskan bahwa negara harus hadir untuk melindungi, bukan menghukum, masyarakat yang bergantung pada hutan untuk hidupnya.
Manajer Pengakuan Wilayah Kelola Rakyat Eksekutif Nasional WALHI, Ferry Widodo mengatakan sudah terlalu lama kebijakan kehutanan menempatkan mereka sebagai pihak yang bersalah, padahal aktivitas berkebun itu adalah bagian dari tradisi dan sistem penghidupan yang lestari.
“Namun kami juga mengingatkan bahwa putusan ini tidak boleh dijadikan pembenaran bagi aktivitas komersial atau ekspansi perkebunan skala besar yang justru mengancam hutan dan masyarakat itu sendiri,”ujarnya, Minggu (19/10/2025) .
Pemerintah harus memastikan adanya aturan turunan yang jelas agar batas antara kebutuhan hidup dan kepentingan bisnis tidak disalahgunakan. Bagi WALHI, putusan ini adalah momentum untuk mempercepat pengakuan wilayah kelola rakyat sebagai fondasi keadilan ekologis dan keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
“Kalau kita bicara soal usaha seperti camping ground atau bentuk usaha lain di kawasan hutan, tentu konteksnya berbeda dengan masyarakat yang berkebun untuk hidup sehari-hari. Putusan MK itu tidak bisa ditafsirkan sebagai kebebasan untuk membuka usaha komersial di kawasan hutan tanpa izin. Aktivitas seperti itu tetap membutuhkan aturan dan izin yang jelas, karena menyangkut pemanfaatan ruang dan potensi ekonomi,” imbuhnya.
Ferry Widodo menambahkan, negara memang harus memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengelola hutan, tetapi bukan untuk membuka peluang baru bagi komersialisasi yang justru mengancam kelestarian hutan itu sendiri. “Yang perlu dijaga adalah keseimbangannya dan bagaimana masyarakat tetap bisa hidup layak dari hutan tanpa kehilangan nilai ekologis dan kearifan yang sudah mereka warisi turun-temurun,” tambahnya.
Bagi WALHI, batas antara hutan dan areal HGU itu seharusnya jadi buffer zone yang memperkuat fungsi ekologis, bukan malah jadi ruang baru untuk bisnis. Negara harus tegas menertibkan praktik-praktik semacam ini, apalagi kalau melibatkan pengusaha besar yang memanfaatkan izin HGU untuk menguasai akses ke hutan. Kalau dibiarkan, ini akan memperparah ketimpangan dan konflik agraria.
Sebelumnya Mahkamah Konstitusi telah memberi Ruang kepada Masyarakat Kawasan Hutan untuk berkebun Tanpa Izin Pemerintah Pusat. Larangan berkebun dikecualikan untuk masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam kawasan hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial. Hal tersebut merupakan amar putusan perkara No.181/PUU-XXII/2024 yang dibacakan di Gedung MK, Kamis (16/10/2025) lalu.
Dalam kesempatan yang sama hakim konstitusi Prof Enny Nurbaningsih membacakan pertimbangan putusan. Antara lain pengecualian sanksi pidana terhadap orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan paling singkat 5 tahun secara terus menerus sebagaimana Pasal 12A dalam Pasal 37 angka 4 UU 6/2023 dan Pasal 17A dalam Pasal 37 angka 6 UU 6/2023.
Serta, pengecualian atas sanksi administrasi terhadap orang perseorangan yang bertempat tinggal dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan paling singkat 5 tahun secara terus-menerus dengan luas paling banyak 5 hektar sebagaimana Pasal 110B ayat (2) dalam Pasal 37 angka 20 UU 6/2023 dengan tujuan bukan untuk komersial merupakan bentuk keberpihakan kepada masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau sekitar kawasan hutan.
(yev/rls*)