jurnalbogor.com — Meningkatnya populasi imigran asal India dan Asia Selatan di beberapa wilayah Jepang mulai menimbulkan gesekan sosial dengan masyarakat lokal. Hal itu diungkapkan oleh seorang Warga Negara Indonesia (WNI) yang telah menetap di Prefektur Kanagawa, Jepang, lebih dari enam tahun — sebut saja Rina (nama samaran) — dalam wawancara eksklusif dengan Jurnal Bogor, Selasa (14/10/2025).
Menurut Rina, ketegangan sosial tersebut bukan disebabkan oleh sikap rasis masyarakat Jepang, melainkan perbedaan budaya dan gaya hidup yang mencolok antara warga lokal dan para pendatang.
“Orang Jepang itu terbiasa hidup teratur, tenang, dan menghargai ruang publik. Sementara banyak orang asing datang ke sini dengan gaya yang lebih ekspresif — bicara keras, nelpon di kereta, atau kumpul ramai di tempat umum. Itu bukan budaya di sini,” ujarnya.
Ia menuturkan, hal-hal kecil seperti berbicara keras, tidak antre, atau membuang sampah sembarangan bisa dianggap sebagai bentuk ketidaksopanan dalam budaya Jepang.
“Padahal bagi mereka itu biasa saja, tapi bagi orang Jepang dianggap nggak sopan,” kata Rina.
Perbedaan tersebut, menurutnya, telah memunculkan sentimen negatif terhadap warga asing, termasuk terhadap sesama WNI.
“Katanya ada orang Indonesia yang dipukul tanpa sebab. Sekarang mereka udah mulai berani nunjukin ketidaksukaannya,” ungkapnya.
Selain persoalan sosial, Rina juga menyoroti kebijakan pemerintah Jepang yang kini makin ketat terhadap warga asing, termasuk dalam urusan administrasi seperti pembuatan SIM dan izin kerja.
“Sekarang bikin SIM aja lebih susah, katanya karena banyak orang asing yang langgar aturan lalu lintas. Padahal orang Jepang juga ada yang salah, tapi kalau yang salah orang asing, langsung heboh,” ujarnya.
Beberapa petisi penolakan pembangunan masjid di kota-kota besar Jepang juga mencuat di media sosial. Masyarakat lokal disebut khawatir bahwa meningkatnya populasi imigran akan mengubah tatanan sosial mereka.
Meski demikian, Rina menilai bahwa masyarakat Jepang tidak sepenuhnya rasis, melainkan tengah beradaptasi dengan perubahan sosial yang cepat.
“Sebenernya mereka nggak benci, cuma kaget aja. Mereka ngerasa lingkungannya berubah, dan karena kita orang asing jadi lebih kelihatan,” jelasnya.
Ia menegaskan pentingnya bagi para pendatang, termasuk WNI, untuk memahami norma dan budaya Jepang agar bisa hidup harmonis.
“Kita di sini minoritas, jadi harus tahu diri. Mempelajari budaya mereka dan berusaha menyesuaikan diri itu penting supaya bisa diterima,” tuturnya.
Fenomena gesekan sosial ini mencerminkan tantangan baru Jepang sebagai negara dengan populasi menua yang kini mulai membuka diri terhadap tenaga kerja asing. Namun di sisi lain, proses adaptasi sosial antara warga lokal dan imigran masih membutuhkan waktu dan kesadaran bersama.
(mg)