jurnalbogor.com – Kawasan resapan air yang hilang di Jawa Barat terus bertambah setiap tahunnya. Biang keladi degradasi kawasan tersebut diantaranya JR UUCK. Menanggapi statemen Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq rapat kerja dengan Komisi XII DPR RI di Jakarta, Selasa (13/5/2025).
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Barat blak-blakan membongkar fakta bahwa lahan resapan air yang hilang bukan 1,4 juta hektar melainkan 1,5 juta hektar tahun ini. Salah satu penyebabnya adalah bukan pada rencana tata ruang wilayah (RTRW) melainkan juga Undang Undang Cipta Kerja (UUCK).

Dalam kajian WALHI disebutkan degradasi kawasan tersebut menjadi pemicu bencana alam tanah longsor dan banjir di Jakarta, Bekasi, Bogor, Depok, dan kawasan sekitarnya yang memiliki hulu daerah aliran sungai (DAS) di Jawa Barat, seperti DAS Bekasi dan Ciliwung.
“Menteri LH meminta Gubernur Jawa Barat untuk meninjau ulang kembali RTRW Provinsi agar Kabupaten/Kota bisa menyelaraskan kembali RTRW seiring dengan hilangnya kawasan resapan air. Respon WALHI Jawa Barat atas statemen Menteri LH tersebut memang sudah sepatutnya RTRW
Provinsi dan Kabupaten/Kota agar tidak merubah zona yang kawasannya memilki fungsi penting,” ucap Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat, Wahyudin, Rabu (14/5).
Ia menegaskan, merujuk kepada UUCK setidaknya ada empat hal agar RTRW dapat sinergis dengan rencana pembangunan kedepan, yaitu Integrasi Rencana Ruang Laut dan Darat dimana UUCK mengamanatkan pengintegrasian rencana ruang laut pada RTRW Provinsi, Penyederhanaan Hirarki Produk Penataan Ruang melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang mengamanatkan penyederhanaan hirarki produk penataan
ruang dengan menghapus Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi dan Kabupaten/Kota, Penghapusan RTR Kawasan Strategis dan Penyesuaian dengan Perkembangan Pembangunan.
Berdasarkan kajian WALHI, Degradasi yang angkanya setiap tahun meningkat hingga mencapai 1,5 juta hektar lahan kritis di Jawa Barat bertambah hingga tahun ini. “Belum lagi menghitung jumlah tutupan lahan (Tuplah) hutan di Jawa Barat yang semakin tahun habis hingga mencapai 20 hektar per tahunnya,” ungkap Wahyudin.
Wahyudin mengungkap hal mencengangkan, bahwa salah satunya revisi RTRW ternyata sangat melenggangkan koorporasi besar yang akhirnya mengeruk sumber daya alam yang besar. Perubahan fungsi kawasan yang didukung dengan berubahnya zona yang tetapkan dalam RTRW. Ini biang ketoknya UUCK saat ini, salah satunya berdampak terhadap beberapa aspek, Gunung-gunung di Jawa Barat seakan
menjadi legal dieksploitasi oleh kegiatan panas bumi, peningkatan pembangunan Gheotermal di beberapa Gunung Jawa barat meningkat, hal ini tentunya akan terhadap menyusutnya tutupan lahan di kawasan hutan.
“Selain itu dengan di mudahkannya oleh UUCK, pengembang sangat berlenggang merencanakan
jenis usaha yang memporak-porandakan kawasan lindung serta kawasan resapan air baik di Bogor maupun di 27 Kabupaten Provinsi, ijin-ijin tambang semakin meningkat, sampai tambang berada di kawasan
lindung hingga kawasan konservasi, sisanya jenis usaha property dan pengembangan wisata ikut serta menjadi factor penyebab yang merubah fungsi kawasan dengan angka yang tinggi,” paparnya.
Artinya jika Menteri LH serius, harusnya menjadi hal yang wajib Perda RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk di tinjau ulang, dan tidak cukup dengan menyampaikan surat saja, perlu tekanan serta dorongan
yang kuat dari pusat, termasuk RTRW mestinya Kembali di tinjau mengingat document tersebut secara hirarki harus berkesinambungan Kabupaten/Kota, Provinsi dan Nasional.
Walhi Jawa Barat menekankan bahwa yang perlu di lakukan adalah Judisial Riview UUCK yang nyatanya kebijakan ini yang menyebabkan tumpang tindih kewenangan serta kebijakan, selian itu biang dari perubahan fungsi kawasan ini karena harus terintegrasinya pembangunan, akhirnya sebagian besar memudahkan untuk berusaha dikawasan yang memiliki fungsi penting.
“Jika benar serius, pemerintah pusat harus menjawab degradasi kawasan yang semakin tinggi di antaranya UUCK, Tinjau RTRW dengan bijaksana bahkan kembalikan kawasan yang memiliki fungsi penting agar tidak di ganggu atau di alih fungsikan, Lakukan upaya pemulihan kawasan dan berikan tanggung jawabnya kepada pelaku yang merusak, dan Bagi para pelaku yang tidak patuh dan ta’at dalam menjalankan kebijakannya berikan sangsi penutupan permanen, blacklist perusahaannya dan berikan sanksi pidana. Karena selama ini sangsi yang diberikan kepada pelaku yang merusak hanya sangsi teguran dan sanksi administratif sehingga tindakan efek jera, serta jalankan penegakan hukum tampa pandang bulu (Zero Tolerence Policy), yang selama ini terkenan pemerintahan banci dalam menjalankan penegakan hukum bagi pelaku perusak lingkungan,” tutupnya.
(yev)