jurnalbogor.com – Begitu banyak berita beredar di media massa terutama di media sosial, mereka yang selama ini sibuk berada di posisi tampuk kekuasaan dan atau mereka yang tidak sedang berada di lingkungan sosial pendidikan dan dunia akademik, tiba-tiba muncul beritanya terekspose ke publik, bahwa mereka para elite politik sudah mendapat gelar “Doktor” dan bahkan “Professor”.
Jika merujuk pada UU Nomor 20 thn 2003 tentang Sisdiknas, pola berperilaku mereka tersebut, melanggar sejumlah pasal dalam peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Lucunya, terkadang rezim yg tengah berkuasa ini melegitimasi perbuatan curang Akademik TSM spt ”Dr dan GB” Jokisme, flagiator dan timses gelar tersebut dengan regulasi berupa Kepres dan atau Kepmendiknas yang bertentangan dengan spirit dan subtansi pasal-pasal dalam berbagai UU yang mengatur penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan nasional.
Atas berbagai pelanggaran tersebut, barang tentu kita sangat prihatin dan bahkan gemas serta cemas dibuatnya. Gelar keilmuan yang ilmiah nan mulia dan cermin peradaban kemajuan saintek tersebut, kini telah dirusak oleh kerakusan dan keangkuhan menggunakan kekuasaan-politik untuk kepentingan pribadi dan membangun image guna pengawetan kekuasaanya.
Terus terang, jujur saya berkata bahwa Kemendikristek yang telah dipimpin oleh mas Ojol betul-betul telah meluluh lantahkan kemuliaan saintek berbasis ilmiah. Akibat lemahnya regulasi pendidikan tinggi dan lemahnya pengawsan (lose control) terhadap penyelenggaraan PT/Universitas dalam proses pemberian gelar akademik Dr dan GB (profesor) yang diobral, adanya pelonggaran dan pelanggaran persyaratan akademik, sedemikian rupa yang terkadang mengeluarkan kapital yang cukup besar untuk tahapan penyelenggaraan “seremonial dan ritual” akademiknya.
Akhirnya kita yang bergelar Doktor dan Profesor bukan lagi manusia pilihan dan unggul yang bermartabat di masyarakat, maaf sudah menjadi orang “biasa-biasa” saja, no respect.
Maaf, dunia Perguruan Tinggi kita sudah terperosok dan terperangkat ke dalam pola budaya materialistik “wani piro” yang telah mencampakan etika, moralitas dan idealisme serta kejujuran dan kebenaran ilmiah. Gejala sosial sesat dan menyesatkan ini sebenarnya sudah lama berlangsung, ada 2-3 dasa warsa terakhir menghangat kembali tanpa henti, karena ada pembiaran (permisif) yang seolah-olah fenomena sosial tersebut merupakan sesuatu kewajaran.
Dua tahun lalu, saya pernah menulis 3 artikel kritik sosial terhadap fenomena pemberian berbagai gelar kepada para elite politik, diobral tanpa transfarasi prosedur dan persyaratan akademik, diantaranya bertemakan, hancurnya atau “Runtuh Kampus PT sebagai Pusat Kebudayaan dan Peradaban Maju”.
Yang namanya “exellence university”, secara pelan dan pasti tampak mulai pudar watak dan jati dirinya serta integritas keilmuannya, akibat kuatnya magnitude materialisme dan liberalisme menyelusup ke dalam jantung (sukma) kampus perguruan tinggi di negeri ini.
Hatur nuhun kang Prof DSD atas berbagi dan berbagai infonya tentang fenomena sosial pemberian gelar akademik sesat dan menyesatkan itu. Dan kita teruslah melakukan kritik sosial sebagai pengingat atas landasan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT “waatawasau billhaqi watawasau bissobri”.
Mana tahu dengan opini public yang kita bangun secara terus menerus, bisa memberikan sedikit cahaya sebagai petunjuk jalan yang lurus (sirotol mustakim) bagi warga bangsa, sehingga masyarakat bangsa Indonesia yang sama-sama kita cintai tidak semakin terpuruk yang akhirnya bisa masuk jurang di ambang kehancuran (collapse), nauzubillahi minzalik.
Saya teringat kata-kata orang bijak bahwa untuk menghancurkan kehidupan sebuah masyarakat-bangsa (negeri), rusak saja sistem pendidikan dan keluarganya. Kini, tanda-tanda pengrusakan semakin tampak semakin jelas dan terang benderang, tanpa malu, tanpa rasa bersalah dan berdosa.
Dengan kata lain, para elite politik yaitu kaum politisi dan birokrat di negeri ini dewasa ini, memiliki syahwat yang kuat, tak terbendung, berkeinginan pula masuk dan merambah ke dunia pendidikan dan keilmuan yang menjunjung kebenaran ilmiah yg dibangun atas kejujuran dan rasa keadilan. Padahal kita tahu bahwa dunia politik dan birokrasi tersebut sangat berbeda paradigma, filosofi dan pendekatan yg digunakan, bahkan terkadang bertolak belakang (paradoks).
Kita paham bahwa dunia politik dibangun atas dasar filosofis pragmatisme, transaksional- materialistik bahkan dengan “hight cost politic” dalam alam demokrasi liberal yang tengah berlangsung saat ini, para aktor dunia politik cenderung superpragmatisme dan sekularistik.
Hal ini sangat bertolak belakang dengan budaya keilmuan yang diajarkan di lingkungan kampus yang menjunjung tinggi martabat dan idealisme, sarat dengan kode etik, berbudaya/mindset ilmiah, taat azas/disiplin dalam menjalankan prosedur riset ilmiah dalam rangka pengembangan saintek, dan menjunjung tinggi sistem nilai, norma dan kaidah hukum yang berlandaskan kebenaran dan keadilan.
Demikian narasi singkat saya terhadap fenomena sosial yang mengobral gelar akademik tertinggi Doktor dan Profesor “palsu”, “abal-abal”, dan “kaleng-kaleng” yang meruntuhkan harkat dan martabat Kampus pendidikan tinggi di tanah air dewasa ini. Semoga Allah SWT menunjukan mereka pada jalan yang diridhoi dan diberkahi-Nya, Aamiin
Save Pendidikan Tinggi Indonesia sebagai Benteng Peradaban Berkemajuan.
Syukron barakallah.
Wassalam
====✅✅✅
Dr.Ir H Apendi Arsyad,M.Si (Dosen Assosiate Profesor, Pendiri Universitas Djuanda Bogor, Pendiri dan Ketua Wanhat MPW ICMI merangkap Wasek Wankar MPP ICMI, Pegiat dan Pengamat serta Kritikus Sosial melalui tulisan di media sosial)