jurnalbogor.com – Baru sehari relawan Desa Tangguh Bencana (Destana) Desa Bantarsari, Kecamatan Rancabungur dilantik, banjir besar melanda Rancabungur pada 10 Agustus 2025. Air menggenangi rumah-rumah warga hingga dua meter. Tanpa ragu, para relawan Destana yang baru saja dilatih itu langsung bergerak, membantu evakuasi, mengangkat perabotan, dan membersihkan lumpur.
Beberapa pekan kemudian, ujian berikutnya datang dari arah berbeda. Sebuah majelis taklim di Ciomas ambruk menimpa jemaah. Empat orang meninggal dunia, lebih dari seratus lainnya mengalami luka berat maupun ringan.
Relawan Bantarsari kembali turun tangan, ikut mengevakuasi korban di tengah suasana duka. Seolah tak diberi jeda untuk beristirahat, sejak lahir Destana sudah ditempa kenyataan pahit: bencana tidak pernah menunggu.
“Tidak ada yang bertanya soal honor atau bayaran. Mereka hadir murni karena panggilan jiwa,” ujar Kepala Desa Bantarsari, Lukmanul Hakim, saat ditemui usai audiensi dengan Wakil Ketua DPRD Bogor Agus Salim, di Gedung DPRD Bogor, Selasa (9/9/2025).
Relawan Destana datang dari beragam latar belakang. Ada mahasiswa, pelajar, pemuda karang taruna, hingga petani dan pedagang kecil. Mereka bukan tenaga profesional, melainkan warga biasa yang rela mengorbankan waktu, tenaga, bahkan uang demi membantu sesama.
Lukmanul yang kini menjabat untuk periode kedua menjelaskan, ketika pendaftaran dibuka tak seorang pun menanyakan imbalan. “Yang mereka tanyakan hanya kapan bisa mulai bergerak,” katanya.
Sejak saat itu, setiap kali banjir, pohon tumbang, atau rumah roboh, mereka selalu siap. Bahkan sebelum resmi dibentuk, warga Bantarsari sudah terbiasa ikut membantu bencana di luar wilayahnya. Saat gempa mengguncang Cianjur, mereka mengirimkan bantuan.
“Kalau ada bencana, itu bukan hanya urusan satu desa. Kita wajib menolong saudara di tempat lain,” tegas Lukmanul.
Solidaritas ini lahir dari kebersamaan yang mengakar. Keluarga demi keluarga rela menyisihkan uang seadanya. Jumlahnya mungkin kecil, tapi ketika dikumpulkan bisa mencapai belasan juta rupiah. Dana itu cukup untuk membeli sembako, obat-obatan, hingga peralatan darurat bagi para korban bencana.
Namun kerelaan saja tidak cukup menutupi keterbatasan yang ada. Relawan Bantarsari kerap kesulitan karena minimnya fasilitas seperti perahu karet untuk banjir, gergaji mesin untuk menebang pohon tumbang, atau tenda darurat bagi korban rumah roboh.
Alat-alat sederhana ini vital, tetapi belum tersedia memadai. Mengandalkan unit terkait pun sering terkendala jarak dan luasnya wilayah Kabupaten Bogor.
“Semangat mereka luar biasa. Tapi tanpa peralatan, langkah di lapangan sering terhambat,” tutur Lukmanul. (Aga*)