jurnalbogor.com – WALHI Jawa Barat berkunjung ke Desa Iwul, Kecamatan Parung,
Kabupaten Bogor untuk menginvestigasi lanjutan mengenai konflik agraria yang terjadi di desa tersebut, Senin (24/3/2025).
Melalui aduan yang disampaikan di akhir tahun 2024 lalu, masyarakat Desa Iwul
saat itu mengeluhkan adanya pembangunan perumahan real estate yang mengganggu ekosistem hingga pertanian warga.

Dalam perkembangan kasusnya ternyata sudah terbilang cukup lama sekitar 20 tahun, namun baru ramai kembali di rentang tahun ini. Adapun perusahaan yang menjadi investor pada pembangunan wilayah Telaga Kahuripan ialah PT. Kuripan Raya dengan konsorsium beberapa perusahaan besar.
Kuripan mengklaim memiliki lahan HGB seluas 750 Ha dan itu yang menjadi dasar mereka mendirikan bangunan. Namun apa yang dilakukan Kuripan Raya banyak melanggar hak-hak dasar masyarakat, menyebabkan kerusakan ekosistem lingkungan, hingga fungsi ekologis yang tidak lagi sesuai.
Menurut staf Advokasi dan Kampanye WALHI Jawa Barat, Fauqi, ada beberapa
pasal sebagai acuan dalam kegiatan pembangunan. Misalkan saja dalam Undang-Undang
Pengendalian Lingkungan Hidup memberikan hak yang sama bagi masyarakat. Tercantum
dalam Pasal 70 mengenai peran aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
diberikan hak dan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat.
Ini juga tercantum dalam bentuk partisipasi penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Penguatan terhadap perlindungan bagi hak-hak penggarap juga ada dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Poinnya adalah komitmen berupa perlindungan bagi petani penggarap dari tindakan yang merugikan termasuk penggusuran. Apalagi dorongan pasal 6 UUPA memberikan makna sebagai fungsi sosial yang berarti penggunaannya harus memperhatikan kepentingan masyarakat luas, termasuk petani penggarap.
“Diluar dari kesesuaian menurut aturan tata ruang dan tata wilayah, setiap pembangunan harus
menjunjung aspek-aspek dasar yang menjadi acuan bagi masyarakat. Jangan merasa memiliki
legalitas lantas menerobos hak-hak dasar bagi masyarakat. Inilah yang selama ini hilang dan
tidak dilakukan oleh PT. Kuripan Raya, tak heran konflik terjadi dan ramai masuk dalam
pemberitaan di media sosial, “ sebut Fauqi.
Ia juga menambahkan dalam perusahaan shareholders proyek Kahuripan memiliki track record
perusahaan “plat merah” di sektor lingkungan.
”Dari situ aja kita bisa lihat komitmen yang dikeluarkan hanya sekedar ”lip service” semata. Belum lagi fakta lapangan yang ditemukan jelas mengancam kehidupan masyarakat yang seharusnya dijaga hak-haknya,” sambungnya.
Perwakilan Desa Iwul, Jarkasih juga menyampaikan, “Masyarakat Desa Iwul itu adalah
masyarakat desa asli, bahkan ada situs-situs yang bisa membuktikan bahwa kami orang asli sini.
Sejak dulu historis perizinan yang dilakukan tidak pernah melibatkan kami. Bahkan kami
inginnya dipindahkan dulu segala bentuk yang mempengaruhi kehidupan kami baru terbitkan
SHGB. Ini kan seolah-olah kalo begitu kami melakukan pemakaman leluhur kami di tanah yang
haram atau tanah milik perusahaan,” menurutnya.
Ia menuturkan ketika adanya HGU pohon karet tidak pernah ada protes dari warga, karna
kehidupan berdampingan dengan nilai ekosistem yang juga berdampak pada ekonomis warga. Padahal ada mata air yang juga menjadi kebutuhan warga.
“Semua masyarakat Parung membutuhkan air tadi. Kita tidak pernah tau adanya Amdal, izin cut n fill, dan izin lainnya, “ tambah Jarkasih.
Sumber mata air juga menjadi kebutuhan bagi desa lainnya yakni Bojong Sempu. Dari pernyataan warga dengan masuknya PT. Kuripan Raya membuat sulit mata air hingga sekedar mencari kehidupan dari lahan garapan.
(yev/*)