Oleh: Zayyid Atthariq
(Menteri Luar Negeri BEM Institut Agama Islam Bogor)
jurnalbogor.com – Kecerdasan kritis, seharusnya menjadi mahkota setiap mahasiswa, kini terancam punah. Fenomena menurunnya minat baca dan menjamurnya budaya scrolling telah menciptakan jurang yang dalam antara gelar sarjana yang disandang dengan kemampuan analisis yang seharusnya dimiliki. Kita berada dalam krisis akut di mana output kampus adalah lulusan yang kaya informasi di gawai, namun miskin dalam mengolah dan mempertanyakan esensinya. Lalu, di tengah darurat intelektual ini, kita harus berani menunjuk. Siapa yang paling bertanggung jawab atas ‘kematian otak’ kritis mahasiswa?
Kita tidak bisa memungkiri, pilar pertama yang harus digugat adalah mahasiswa itu sendiri. Perguruan tinggi mungkin sudah berusaha menyediakan workshop dan mendukung komunitas literasi sastra mahasiswa, namun ironisnya, yang paling sering mengabaikan tawaran emas ini adalah subjek utama yang harusnya paling bersemangat. Keengganan kolektif ini bukan lagi masalah ketersediaan bahan bacaan, melainkan masalah pilihan prioritas.
Mahasiswa hari ini adalah Homo Instanensis: lebih memilih ringkasan satu halaman ketimbang bab utuh, lebih menyukai visual animasi ketimbang membaca metodologi dalam jurnal, dan lebih percaya thread di media sosial ketimbang hasil riset empiris yang tervalidasi. Sikap menolak untuk berinvestasi dalam proses kognitif yang sulit yaitu deep reading inilah yang membuat daya analisis mereka tumpul.
Dampaknya terasa pahit ketika diminta analisis kritis, mahasiswa hanya mampu copy paste ide, menghasilkan tulisan yang miskin diksi, dan gagal dalam debat karena kehabisan amunisi literatur pembanding. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap label ‘intelektual’ yang mereka sandang.
Tentu saja, menyalahkan mahasiswa sepenuhnya adalah terlalu sederhana, karena sistem yang menopang mereka pun masih rapuh. Dalam konteks ini, Perguruan Tinggi memikul beban pertanggungjawaban yang besar. Kritik tajam harus diarahkan pada institusi yang masih nyaman dengan dosen yang berpuas diri, yang hanya menggunakan metode kuliah dogmatis, dan soal ujian yang hanya menguji hafalan.
Jika dosen gagal menjadi role model yang menuntut (dan mempraktikkan) pembacaan kritis, jangan salahkan mahasiswa yang kemudian hanya mengejar nilai, bukan ilmu. Lebih jauh lagi, kegagalan terbesar institusi ini adalah belum tersedianya perpustakaan fisik yang memadai. Kampus harus menyadari, bahwa meskipun era digital merajalela, perpustakaan bukan sekadar tempat penyimpanan buku, melainkan simbol dan sentra peradaban akademik.
Perpustakaan sebagai jantung intelektual, kampus mengirim pesan bahwa literasi prioritas. Institusi wajib segera membangun dan mengisi perpustakaan sebagai sarana fundamental bagi mahasiswa untuk benar-benar mendalami dan mengasah daya literasi mereka.
Pada akhirnya, krisis ini adalah cermin kegagalan multi-level, namun keputusan untuk membuka dan membaca buku tetap berada di tangan individu mahasiswa. Mereka adalah generasi yang paling memiliki akses terhadap jutaan sumber digital, namun ironisnya, justru menjadi penyumbang utama krisis ini.
Mahasiswa harus bangun dari tidur panjang apatisme intelektual mereka, sebelum kemalasan berliterasi menjadikan mereka sarjana yang pintar searching, namun bodoh dalam thinking. Masa depan intelektual bangsa bergantung pada kemauan mereka untuk berenang melawan arus hiburan instan.
(**)