jurnalbogor.com – Hari Minggu yang seharusnya damai berubah menjadi tragedi ketika banjir bandang melanda kawasan Puncak, Cisarua, Kabupaten Bogor pada 2 Maret 2025.
Bencana ini terjadi setelah hujan deras mengguyur wilayah tersebut selama beberapa jam, situasi tersebut menyebabkan Sungai Ciliwung jebol dan meluap hingga menghantam pemukiman warga di sekitarnya.
Air bah dengan cepat memenuhi jalan-jalan dan rumah penduduk di Desa Tugu Selatan dan Tugu Utara yang menjadi titik terparah bencana ini. Jalan Raya Puncak yang biasanya ramai dengan kendaraan wisatawan mendadak lumpuh, terendam air yang mengalir deras membawa lumpur dan serpihan material limbah kayu yang tergerus dari hulu.
Direktur Eksekutif Walhi Jabar, Wahyudin, mengungkapkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebenarnya telah mengeluarkan peringatan dini tentang potensi cuaca ekstrem dan banjir untuk periode 24 Februari – 5 Maret 2025. Peringatan ini terkait fenomena bulan baru dan Perigee yang meningkatkan ketinggian air laut serta curah hujan.
Namun, intensitas hujan yang turun pada hari Minggu tersebut jauh melebihi perkiraan, dengan curah hujan mencapai level ekstrem dalam waktu singkat. Meski demikian, faktor alam bukanlah satu-satunya penyebab bencana ini. Deforestasi dan alih fungsi lahan di kawasan Puncak telah berlangsung selama bertahun-tahun.
“Hutan dan lahan resapan air yang seharusnya menjadi benteng alami terhadap banjir telah berubah menjadi vila, hotel, perumahan dan pengembangan wisata yang berkedok ramah lingkungan, perubahan alih fungsi tersebut,” ungkap Wahyudin dalam keterangan persnya, Selasa (4/3/2025).
Dalam kurun waktu lima tahun ke belakang Walhi telah menduga kurang lebih hampir 45% kerusakan di kawasan puncak bogor drastis hal ini meningkat, sehingga jika di hitung perhari ini, kerusakan akibat alih fungsi kawasan dapat di perkirakan menjadi 65% atau setara dengan setengah lebih luas kawasan puncak Bogor telah mengalami kerusakan yang serius. Akibatnya, kemampuan tanah untuk menyerap air hujan berkurang drastis. Properti dan fasilitas pariwisata yang tak terkendali juga berkontribusi terhadap malapetaka.
Hasil kajian Walhi Jabar, tidak sedikit pengembang yang di duga sengaja telah mengabaikan analisis dampak lingkungan demi mengejar keuntungan ekonomi jangka pendek. Document Amdal, UKL/UPL terkesan hanya di jadikan prasyarat bagi para pengembang untuk mendapatkan ijin berusaaha semata, sehingga kepatuhan serta ketaatan sebagian banyak pengusaha abai akan kewajiban yang harus mereka jalankan serta taati.
Ditambah lagi dengan maraknya aktivitas pertambangan pasir dan batu ilegal di sekitar kawasan semakin tahun semakin juga tidak dapat terhindarkan sehingga struktur tanah semakin rusak dan rentan terhadap erosi muaranya (Longsor, Gerakan tahan hingga banjir bandang).
Walhi Jabar menilai ada dugaan kesengajaan Pemerintah yang secara sengaja mengeluarkan terus ijin-ijin berusaha di kawasan puncak, hal tersebut hanya sekedar di lihat dari aspek untuk peningkatan pendapatan daerah, sementara alam di gadaikan secara sengaja untuk terus di rusak, padahal perlu di ketahui bersama bahwa Puncak Bogor memiliki status L4 yaitu kawasan yang memberikan perlindungan terhadap tanah dan air, serta sebagai zona L1, yaitu sebagai resapan air.
“Sehingga jika intervensi terus meningkat kepada situasi yang mengarah terhadap kerusakan, maka tidak salah, longsor dan banjir yang hingga menyebabkan lautan di Jakarta, semata-mata adalah kerusakan ekologis yang terjadi di Kawasan Puncak Bogor,” jelas Wahyudin.
Walhi juga menilai kuat, hal tersebut di sebabkan oleh kurangnya pengawasan dari pemerintah terhadap tata guna lahan dan pembangunan di kawasan Puncak, akibatnya kerusakan lingkungan yang berujung terhadap bencana eologis. Salah satunya yang kami temukan masih banyak bangunan yang didirikan tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, sementara upaya konservasi dan upaya pemulihan lingkungan masih sangat minim dilakukan oleh pengembang termasuk pemerintah.
Ia menyebutkan, Banjir bandang di Puncak, Bogor ini menjadi pengingat keras tentang konsekuensi dari eksploitasi lingkungan yang berlebihan dan tidak sertai dengan bertanggung jawaban dari pelaku perusak. Keseimbangan alam yang terganggu pada akhirnya akan berbalik merugikan manusia sendiri.
Para ahli lingkungan dan aktivis telah lama memperingatkan tentang bahaya dari alih fungsi lahan dan pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan di kawasan Puncak. Namun, kepentingan ekonomi jangka pendek seringkali mengalahkan pertimbangan keberlanjutan jangka panjang.
Menurutnya, bencana ini seharusnya menjadi titik balik dalam pengelolaan kawasan Puncak. Restorasi ekosistem, pengetatan izin pembangunan, dan penegakan hukum terhadap pelaku perusak lingkungan harus menjadi prioritas utama. Tanpa langkah konkret, banjir bandang seperti ini hanya menunggu waktu untuk terulang kembali, mungkin dengan skala yang lebih besar dan dampak yang lebih menghancurkan.
Wahyudin menegaskan sikap Walhi Jawa Barat mendesak pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Bupati Bogor untuk segera melakukan evaluasi secara konfrehensip dan transparan atas segala kegiatan yang ada baik dari mulai bisnis property, pengembangan wisata serta kegiatan tambang di kawasan puncak dan bogor raya yang mempengaruhi terhadap kerusakan ekositem Das Ciliwung. Penguasaan Lahan yang sudah habis ijinnya tidak dikomersilkan dalam arti kata tidak dijadikan kegiatan untuk pengembangan HGB, IUP, IMB hingga Ijin pengebang wisata.
“Tertibkan segera bangunan-bangunan liar yang marak di bangun di kawasan puncak, selain tidak berijin menyalahi perutaran penataan ruang wilayah. Stop mengeluarkan ijin-ijin usaha di kawasan puncak mengingat puncak memiliki fungsi penting sebagai paku bumi untuk tiga Kabupaten yakni Kab.Cianjur, Kab.Bogor dan Kab.Sukabumi. Tidak secara tegas pelaku-pelaku yang tidak taat dan tidak patuh terhadap ketentuan kebijakan yang ada dalam menjalankan kegiatan usahanya. Berikans sangsi tegas sebagai wujud nyata dari keseriusan pemerintah,” tutupnya.
(yev/*)