Laksa Abah, Jaga Cita Rasa Tempo Dulu di Tengah Arus Modernisasi

  • Whatsapp

jurnalbogor.com – Di sebuah sudut kota yang masih menyimpan aroma masa lalu, Raden Untung M (53) seorang pria yang akrab disapa Abah tengah sibuk mengaduk kuah santan pekat. Asap yang mengepul membawa harum rempah yang khas, seolah mengajak siapa pun yang lewat untuk singgah. Inilah Laksa Abah, kuliner khas Bogor yang lahir dari tangan seorang penjaga rasa jadoel di era serba instan.

Read More

Perjalanan Abah bersama laksa dimulai jauh sebelum usaha ini berdiri. Tahun 1989, ketika masih duduk di bangku SMA, Abah pertama kali mengenal laksa dengan ikut membantu orang lain berjualan. “Waktu itu belum punya usaha sendiri, hanya ikut orang, sambil belajar,” kenangnya, Senin (25/8/25).

Aktivitas itu sempat terhenti saat ia melanjutkan kuliah. Namun, pandemi Covid-19 membawanya kembali ke dapur, memulai kembali apa yang dulu ia cintai berjualan laksa, kali ini dengan penuh kesungguhan.

Resep turun temurun dan filosofi Rasa

Laksa Abah bukan sekadar kuliner, melainkan warisan keluarga. Resepnya berasal dari salah satu kerabat adik kakek yang gemar laksa. Yang membuatnya istimewa adalah konsistensi menjaga cita rasa masa lalu. Filosofinya sederhana namun dalam: menjaga kualitas santan dengan cara tradisional. Abah memasak kuah santan menggunakan kayu bakar, tempurung, dan ampas kelapa yang diolah khusus selama 3–4 jam. Hasilnya, santan yang awet dan kaya rasa, tanpa sentuhan MSG atau pengawet.

Rahasia di Balik Kepulan Asap

Yang membuat Laksa Abah berbeda terletak pada prosesnya. Kuah santan dimasak perlahan hingga aroma rempah meresap, memanfaatkan asap kayu sebagai penyedap alami. Bahan-bahan yang digunakan pun selalu segar: 10–12 kelapa untuk santan, kunyit parut, serai, daun salam, kapulaga, kayu manis, gula pasir, dan garam dengan cita rasa cenderung asin. Kuah selalu baru, tidak pernah dipanaskan ulang. Pendampingnya, seperti tauge, tahu, oncom, dan daun kemangi, dipilih yang terbaik.

Menjaga Warisan Rasa

Bagi Abah, laksa bukan hanya makanan. Ia adalah nostalgia tentang kuliner bangsawan tempo dulu, hasil kawin budaya Tionghoa dan pribumi lokal. “Kunci menikmati laksa itu sensasi jadoelnya, rasa yang jarang ditemukan sekarang,” ujarnya.

Harapannya pun meluas, melampaui kepentingan bisnis. Abah ingin Laksa khas Bogor tetap hidup di tengah gempuran kuliner modern. “Mencintai tanah air itu bukan hanya soal menjaga laut, darat, atau udara. Kuliner juga bagian dari budaya bangsa. Generasi muda harus ikut melestarikan, jangan sampai punah,” pesannya, sambil tersenyum di balik kepulan asap yang terus menari di atas tungku.

(Yudi)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *