jurnalbogor.com – Kebun Raya Bogor termasuk simbol konservasi tertua di Asia Tenggara. Namun kini bukan lagi disorot karena penemuan flora langka, melainkan karena dentuman konser musik bertajuk “Sunset di Kebun.”
Seperti tahun sebelumnya, kini diperkirakan ratusan hingga ribuan pengunjung bersorak, bernyanyi, dan menikmati senja di bawah cahaya panggung yang berdiri di antara pepohonan yang acaranya akan digelar pada 30-31 Agustus 2025 mendatang.
Pertanyaannya, masihkah Kebun Raya Bogor ini rumah bagi konservasi, atau telah menjelma menjadi panggung hiburan?
Konser itu diklaim sebagai kampanye konservasi kreatif. Penyelenggara menyebutnya sebagai cara mengenalkan tanaman endemik Indonesia kepada generasi muda lewat musik dan seni. Tak dipungkiri, pendekatan ini menarik perhatian publik, terutama anak muda yang barangkali belum tertarik mengunjungi Kebun Raya tanpa atraksi hiburan.
Namun, di balik semangat edukatif itu, realitas di lapangan menghadirkan paradoks. Ribuan pasang kaki memijak rumput yang seharusnya dilindungi. Panggung megah berdiri di atas zona konservasi. Lalu lintas manusia meningkat, kebisingan musik menembus batas kenyamanan ekologis, dan sampah berserakan, meski sistem pengelolaan telah disiapkan. Semua ini menyisakan pertanyaan besar: apakah konservasi harus dikompromikan demi menjangkau massa?
“Penyelenggaraan konser musik di kawasan konservasi perlu ada batasan suara, agar tidak mengganggu kehidupan liar di kawasan KRB,” ujar Ligar Sonagar Risjoni, Ketua Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) Regional Gedepahala.
Ia menegaskan bahwa dampak kebisingan terhadap ekosistem tidak bisa dianggap sepele, terutama di kawasan yang secara fungsi dirancang sebagai ruang hening dan perlindungan hayati.
Ligar juga menyoroti aspek regulasi yang diabaikan. “Secara spesifik, pengelolaan Kebun Raya Bogor memang tidak mencantumkan larangan konser. Namun, kegiatan semacam ini bertentangan dengan fungsi, tujuan, dan manfaat kawasan konservasi, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta regulasi dampak lingkungan terkait kebisingan,” tegasnya.
Tak hanya memberi kritik, ia pun menyampaikan seruan yang sederhana namun tegas. “Kembalikan Kebun Raya Bogor sesuai dengan fungsinya.”
Ironi ini kian nyata saat Kebun Raya yang seharusnya menjadi ruang edukasi dan kontemplasi alam malah berubah menjadi arena pesta massal. Tiket dijual dengan sistem promosi ala festival: sponsor, gimmick, brand activation. Di sisi lain, koleksi tanaman langka dan tumbuhan konservasi menjadi latar belakang swafoto dan keramaian.
Kami tidak menolak inovasi. Kebun Raya bukan museum tua yang wajib diam dalam kesunyian. Namun, harus ada batas tegas antara inovasi kreatif dan eksploitasi konservasi. Bila konservasi hanya dijadikan bungkus aktivitas komersial, maka nilai edukatifnya akan menjadi semu bahkan berisiko mencederai esensi utamanya.
Kita perlu bertanya apakah konser ini benar-benar meningkatkan kesadaran ekologis?, atau hanya menjadi alasan baru untuk menjual tiket?.
Harapan kami sederhana. Biarkan Kebun Raya Bogor tetap menjadi kawasan perlindungan hayati yang sakral, bukan sekadar backdrop estetika bagi hiburan sesaat. Edukasi konservasi itu penting, tapi jangan dibajak oleh semangat komersial yang menggerus nilai luhur konservasi.
Kebun bukan panggung dan konservasi bukan komoditas.!
(anwar)