jurnalbogor.com – Di tengah persoalan sampah yang masih menjadi tantangan besar di banyak wilayah, warga RT 04/RW 01 Desa Tarikolot, Citeureup, Kabupaten Bogor, membuktikan bahwa perubahan bisa dimulai dari hal sederhana. Bank Sampah Induk (BSI) Kiara 41 sejak tahun 2019 hadir sebagai solusi cerdas dan berkelanjutan dalam pengelolaan sampah masyarakat.
Didirikan dan dikelola oleh H. Zaenal Abidin, bank sampah ini awalnya berjalan tanpa izin resmi. Namun setelah tiga tahun beroperasi, legalitas pun diperoleh, dan kiprahnya semakin meluas. Kini, Kiara 41 bukan sekadar tempat menampung sampah, tetapi menjadi pusat edukasi lingkungan dan simbol Kampung Ramah Lingkungan (KRL) di Tarikolot.
“Awalnya karena saya merasa gatal melihat orang buang sampah sembarangan. Saya mulai gerakan ini dari kecil-kecilan. Sekarang alhamdulillah sudah jadi solusi lingkungan dan membuka lapangan pekerjaan,” ujar H. Zaenal.
Saat ini Bank Sampah Kiara 41 mengelola sampah dari satu RW dengan dukungan empat tenaga kerja. Semua sampah yang terkumpul diolah, limbah organik dijadikan kompos, dan limbah anorganik dan sisanya diserahkan PT Indocement untuk proses lebih lanjut.
Kontribusi perusahaan melalui program CSR juga sangat berperan. PT Indocement Tbk dan PT Ricky Putra Globalindo menjadi mitra utama, bahkan memberikan dukungan berupa mesin pengelola sampah modern melalui program Soldras (Solusi Cerdas atas Sampah) pada tahun 2023. Lokasi pengelolaan saat ini pun berdiri di atas tanah wakaf dari PT Ricky Putra.
Prestasi Kiara 41 tak kalah membanggakan. Tahun 2021, bank sampah ini lolos verifikasi BKRL (Bogor Kabupaten Ramah Lingkungan) tingkat Pratama. Setahun kemudian meningkat ke tingkat Madya, dan kini bersiap maju ke tingkat Utama pada 2025. Perjalanan ini juga didukung oleh kolaborasi dengan KRL Bahari RT 03/RW 07, yang berfokus pada edukasi lingkungan melalui TBM “ATARTUS” (Taman Bacaan Masyarakat).
Aktivis lingkungan dan pendidikan Joni Budiyanto dari Bank Sampah Bahari RT 03/RW 07 juga mendukung penuh gerakan ini.
“Semoga yang masih buang sampah sembarangan segera mendapat hidayah,” ujarnya.
Dibalik keberhasilan itu, ada peran penting para pekerja lapangan Topik Hidayat dan Bahrudin Dwi Atmonadi. Keduanya secara konsisten mengangkut sampah dari rumah ke rumah setiap malam. Meskipun penghasilan tidak besar, mereka tetap bekerja dengan semangat dan keikhlasan.
“Saya cuma ingin lingkungan bersih. Biar dibilang bau atau kerja kasar, nggak apa-apa. Yang penting saya ikhlas, dan ini semua demi keluarga dan kesehatan masyarakat,” ujar Topik.
Namun tantangan tetap ada, salah satunya adalah keberlanjutan lokasi. Karena lokasi saat ini bersifat sementara, para pengelola berharap adanya dukungan pemerintah dalam bentuk sarana dan penyediaan lahan tetap, agar pengelolaan sampah dapat terus berlangsung secara berkesinambungan.
“Kami ingin ada kepastian kalau pun lokasi ini digunakan kembali oleh pemilik, kami punya tempat baru untuk melanjutkan perjuangan ini,” ujar Bahrudin.
Harapan besar digantungkan pada dukungan pemerintah desa, kecamatan, hingga provinsi agar gerakan ini terus hidup dan berkembang.
“Saatnya pemerintah hadir, tidak hanya dengan alat, tapi juga perhatian terhadap keberlangsungan para pekerja dan lokasi kerja. Kami tidak ingin ketika sudah maju, harus angkat kaki karena lahan yang bukan milik,” tutur H. Zaenal.
Soal status lahan tempat pengolahan yang belum memiliki kepastian hukum, warga berharap agar pemerintah daerah dan instansi terkait bisa memberikan perhatian lebih, termasuk legalitas lokasi dan bantuan pendanaan, agar pengelolaan sampah dapat berjalan stabil dan berkelanjutan.
Bank Sampah Kiara 41 telah membuktikan bahwa kepedulian terhadap lingkungan bisa dimulai dari skala kecil namun berdampak besar. Dengan semangat gotong royong, edukasi, dan inovasi, Kiara 41 menjadi bukti nyata bahwa kampung yang bersih, sehat, dan mandiri bukan hanya impian, tetapi bisa menjadi kenyataan.
(Lisna)