jurnalbogor.com – Persidangan perkara nomor 13/G/2025/PTUN.BDG. di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung yang digelar pada 12 Februari 2025 mengungkap fakta baru terkait proses seleksi Dewan Pengawas (Dewas) Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Pasar Pakuan Jaya (PPJ) Kota Bogor yang diduga tidak transparan.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Dedy Kurniawan dengan anggota M Ferry Irawan, dan Baharudin, menghadirkan pihak tergugat, yaitu Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor, yang diwakili Kepala Bagian Hukum dan HAM.
Diketahui, dalam perkara tersebut Penjabat (PJ) Wali Kota Bogor, Hery Antasari dan Ketua Panitia Seleksi (Pansel) Dewas Pengawas Perumda Pasar Pakuan Jaya (PPJ), Hanafi turut sebagai tergugat satu dan dua.
Penggugat Rd Ian Mulyana J Sumpena mengatakan bahwa dalam sidang itu pihaknya keberatan lantaran objek sengketa tidak diungkap secara transparan dalam persidangan lanjutan sidang pemeriksaan persiapan.
Ian menyatakan bahwa sejak awal terdapat ketidakterbukaan dalam proses seleksi, terutama terkait hasil akhir yang tidak disampaikan secara jelas kepada peserta seleksi.
Menurut dia, dalam berbagai surat keberatan dan permohonan penjelasan yang diajukannya kepada Ketua Pansel dan Pj. Wali Kota Bogor, tidak ada jawaban yang secara eksplisit memberikan informasi terkait keseluruhan keputusan administratif yang telah dibuat.
“Ada fakta baru terungkap dalam persidangan. Selain Surat Nomor 900.1.13.2/5568.Bag.Ekon tanggal 29 Oktober 2024, ternyata terdapat Surat Keputusan Walikota Bogor Nomor 900.1.13.2 Kep.359-Bag.Ekon/2024 yang juga diterbitkan pada tanggal, bulan dan tahun yang sama,” ujar Ian dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (15/2/2025).
Kata dia, Surat Keputusan Walikota Bogor tersebut baru diketahui penggugat dalam sidang lanjutan perkara a quo tanggal 12 Februari 2025, setelah majelis hakim meminta tim hukum Pemkot Bogor untuk menunjukkan dokumen yang menjadi dasar pengangkatan anggota Dewan Pengawas Perumda PPJ Kota Bogor.
“Keputusan tersebut bersifat final, konkret, dan individual, tetapi tidak pernah diberitahukan kepada penggugat maupun peserta lainnya,” ungkapnya.
Kata dia, informasi mengenai hasil seleksi dan nilai kumulatif peserta tidak pernah diungkapkan secara terbuka, sehingga menimbulkan dugaan bahwa ada upaya untuk menutup-nutupi informasi yang seharusnya dapat diakses oleh publik.
“Ketidakterbukaan dan dugaan pelanggaran prinsip transparansi ketidakterbukaan ini semakin memperkuat dugaan bahwa proses seleksi secara transparan dan akuntabel,” jelasnya.
Ian menyebut, ada sejumlah indikasi ketidak-beresan dalam seleksi yang diungkap oleh penggugat di antaranya, hasil seleksi tidak diumumkan berdasarkan peringkat nilai peserta, melainkan hanya berdasarkan abjad nama peserta.
“Verifikasi keabsahan ijazah dan proses seleksi lainnya tidak dijelaskan secara mendetail. Penilaian uji kelayakan dan kepatutan (UKK), psikotes, serta wawancara tahap akhir tidak diinformasikan secara rinci dan kumulatif kepada peserta,” ungkapnya.
Selain itu, sambungnya, tidak adanya jawaban resmi terhadap keberatan yang diajukan, baik kepada Ketua Pansel maupun Pj Wali Kota Bogor. Padahal, kata dia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, pemerintah daerah menjamin akses informasi yang jelas, terutama dalam proses seleksi pejabat publik.
“Di Permendagri Nomor 37 Tahun 2018 juga mengatur bahwa pengangkatan anggota Dewan Pengawas BUMD harus dilakukan secara profesional, transparan, dan akuntabel. Namun, dalam kasus ini, transparansi justru menjadi persoalan utama yang dipertanyakan oleh penggugat,” paparnya.
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan. Ian menuntut agar keputusan pengangkatan anggota Dewan Pengawas Perumda PPJ Kota Bogor periode 2024-2028 dibatalkan, khususnya dari unsur independen. Selain itu, mesti dilakukan peninjauan ulang terhadap proses seleksi, dengan membuka seluruh informasi terkait hasil penilaian peserta.
“Pemkot Bogor harus memberikan klarifikasi resmi mengenai alasan tidak diumumkannya Surat Keputusan Walikota Bogor Nomor 900.1.13.2/Kep.359-Bag.Ekon/2024. Majelis Hakim PTUN Bandung diminta mempertimbangkan fakta bahwa proses seleksi ini diduga tidak memenuhi prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dan profesionalisme,” jelasnya.
Ian berharap kasus ini menjadi preseden penting bagi proses seleksi Dewan Pengawas BUMD di Kota Bogor dan daerah lainnya di Indonesia.
“Keputusan PTUN Bandung nantinya dapat memberikan kepastian hukum dan mendorong peningkatan transparansi dalam seleksi pejabat publik,” harapnya.
(FDY)