jurnalbogor.com – Ketidakpuasan terhadap tuntutan jaksa dalam kasus pernikahan tanpa izin istri sah membuat Dermawan Simbolon, warga Desa Cicadas, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor, mengambil langkah tegas. Ia melaporkan perkara tersebut ke Jaksa Agung Muda Pengawasan (JAMWAS) serta Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI. Senin, (21/07/2025).
Langkah ini diambil setelah suaminya, EH, hanya dituntut satu tahun penjara oleh jaksa meskipun didakwa melanggar Pasal 279 Ayat 2 KUHP, yang mengatur larangan pernikahan tanpa izin bagi yang masih memiliki pasangan sah, dengan ancaman hukuman maksimal tujuh tahun penjara.
“Saya ingin proses ini dikawal dengan benar. Saya sebagai perempuan punya hak mendapatkan perlindungan hukum. Saya minta keadilan,” tegas Dermawan, Senin (21/7/2025).
Ia juga memohon kepada majelis hakim untuk memberikan hukuman lebih berat dari tuntutan jaksa.
“Saya meminta dan memohon kepada Hakim yang menangani perkara ini untuk dapat memberikan hukuman yang lebih berat dari apa yang sudah di tuntutkan oleh jaksa,” imbuhnya.
EH diketahui telah menikah siri dengan seorang perempuan berinisial PEH, padahal masih berstatus suami sah Dermawan. Selama 10 tahun menjalani rumah tangga, Dermawan mengaku tidak mengetahui adanya hubungan gelap tersebut, hingga akhirnya kasus ini mencuat dan bergulir di Pengadilan Negeri Cibinong.
“Hasil sidang kemarin membuat saya sangat kecewa. Sudah jelas yang kami laporkan itu dengan Pasal 279 ayat 2 dan ancamannya tujuh tahun. Tapi kok dituntut cuma satu tahun? Ada apa ini?” ujarnya dengan nada kecewa.
Ia juga menilai bahwa perbuatan suami dan perempuan selingkuhannya telah melukai batinnya secara mendalam, dan tuntutan ringan tersebut tidak mencerminkan keadilan yang ia harapkan dari proses hukum.
“Perbuatan mereka dan tuntutannya tidak setimpal. Saya cuma minta keadilan. Batin saya sangat sakit,” tambahnya lirih.
Kasus ini kini menjadi sorotan publik karena menyentuh aspek perlindungan terhadap perempuan, serta keprihatinan terhadap lemahnya penegakan hukum atas pelanggaran moral dan norma pernikahan.
Masyarakat berharap, laporan Dermawan bisa menjadi bahan evaluasi bagi aparat penegak hukum agar tidak terjadi lagi pengabaian terhadap hak-hak perempuan yang menjadi korban. (Aga*)